Blog oleh Hanif

Mengelola Rasa Kurang

Detik demi detik, rasa kurang selalu membuntuti—bagaimana cara menyikapinya?

Sadar atau tidak sadar, perasaan kekurangan (malah: serba kekurangan) selalu mewarnai hidup saya. Dari waktu ke waktu. Tahun ke tahun. Bulan ke bulan. Minggu ke minggu. Hari ke hari. Menit ke menit. Detik ke detik. Ia termanifestasi dalam hal-hal besar (ingin cepat dewasa, ingin kuliah di luar Lombok, ingin punya keluarga) sampai ke hal-hal kecil (ingin makan burger malam nanti, ingin nongkrong, dan lainnya). Bahan bakar dalam hidup saya adalah rasa kekurangan yang di dalamnya melekat keinginan.

Hingga lambat laun saya mulai belajar untuk sedikit sadar ketika keinginan-keinginan itu muncul. Untuk tidak langsung tunduk padanya, tetapi merasa dan mencerna selagi itu hadir—meskipun ujung-ujungnya tunduk juga! Dan seiring itu pula mulai bertanya: bagaimana kalau keinginan ini terhapus? Bagaimana kalau, alih-alih mengejar keinginan, saya membunuhnya saja?

Tapi keinginan tersebut terlalu banyak. Setiap detik (bahkan sepersekian detik!) dia menghampiri saya. Membisiki saya. Dalam persoalan makan, nafsu seksual, hingga terbalut dalam narasi besar soal karir, pengetahuan dan lainnya. Saya merasa kalau ia tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan terus datang selama saya hidup, karena kehidupan tidak akan pernah lelah mempertontonkan kenyataannya di depan saya dan otak saya tidak akan pernah lelah pula untuk menginterpretasikannya sebagai kekurangan-kekurangan yang mesti diraih. Melihat orang berprestasi membuat saya merasa kurang: kok saya tidak bisa begitu? Melihat orang pacaran saya merasa iri: kok tidak punya kehangatan macam itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Yah, mungkin jawabannya bukan membunuh keinginan. Bukan usaha-setengah-mati untuk berkelahi dengan keinginan-keinginan tersebut. Toh, keinginan lah yang membuat saya hidup. Kalau tak ada hasrat untuk makan, minum dan menghindari rasa sakit, dari dulu saya sudah mati. Mungkin saya cuma harus ngobrol dengan keinginan-keinginan saya. Mungkin mereka cuma butuh perhatian (dan karena tidak diperhatikan jadi mencari perhatian setiap waktu). Ditanya baik-baik maunya apa. Dibiarkan bercerita tentang asal-usulnya. Dijamu dengan baik supaya bisa berkeluh kesah dengan lancar.

Kemudian, saya bisa bersepakat dengan mereka. Bisa berdansa dan berteman dengan keinginan-keinginan tersebut. Tahu batas-batas yang nggak boleh mereka lewati, tetapi juga menghormati hak mereka sebagai keinginan. Yah, sebagaimana teman pula, kadang-kadang salah satu dari kita bisa berlaku semaunya. Jadi, pada saat itu terjadi, saya mungkin harus berkelahi dengan mereka. Tapi tidak perlu setiap waktu. Tidak perlu membenci mereka. Biar bagaimanapun, keinginan adalah bagian tak terpisahkan dari diri saya. Jadi, saya akan coba untuk menerima, menemani, mencintai dan mengendalikannya dengan bijaksana.

kategori: psikologi | renungan singkat |