Renungan singkat soal mengelola kesadaran jadi kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan seimbang.
“Sadarlah,” kata Marcus Aurelius, “terhadap keadaan jiwamu saat ini.” Apakah ia sedang bergelora dalam nafsu binatang? Atau dalam keadaan terkendali akal dan nurani?
Saya suka memahami istilah “sadar” di sini sebagai suatu kebijaksanaan terhadap kondisi diri, dimana kebijaksanaan itu dijadikan pedoman untuk usaha mencapai keseimbangan terus-menerus.
Soalnya, “kesadaran” juga bisa merujuk pada suatu keadaan pikiran yang mendasar. Sebagai manusia, kita membangun tindakan atau identitas dari kesadaran bahwa kita ada. Kemudian, kesadaran itu ditumpuk dengan kesadaran bahwa hal-hal di sekitar kita ada. Lantas di atas “kanvas putih” berwujud kesadaran inilah kita menjalani hidup——menginterpretasikan segala yang terjadi.
Sebut saja hal tadi sebagai “kesadaran mentah”. Namun, saya rasa sadar-nya Marcus Aurelius lebih dari sekadar itu. Ia adalah kesadaran yang telah “dimasak” dengan “api pemahaman” sehingga menjadi semacam kebijaksanaan untuk menjalani hidup. Baik bisa dibedakan dengan buruk. Nafsu kebinatangan bisa dibedakan dengan dorongan ruhani yang luhur. Kotor bisa dibedakan dengan bersih. Akhirnya, kemampuan membedakan atau kebijaksanaan inilah yang dipakai untuk mengawasi keadaan jiwa. Sebab, bagaimana mau mengawasi kalau baik-buruk tak bisa dibedakan?
Kemudian, berdasarkan pengawasan tersebut kita bertindak, menyeimbangkan setiap tindakan supaya selaras dengan kebaikan. Dalam keselarasan kita mengalir anggun bersama waktu, berdansa padu dengan nasib.
Dan saya temukan betapa memeroleh kebijaksanaan tersebut begitu sulit, penuh sakit——membicarakannya jelas jauh lebih mudah.
Namun, biar bagaimanapun saya mesti bertindak. Saya mesti masak kesadaran mentah itu. Dan “perkakas masak” tersebut saya kais-kais lewat ajaran agama, hikmah yang berasal dari tradisi, atau buah pikir orang-orang bijak. Dari mereka saya ambil apa saja yang bisa diambil: “seliter minyak”, “segenggam panci berkarat”, “kompor”, “seberkas api” … apapun, apapun yang bisa saya pakai untuk “memasak”. Saya ubek-ubek apa yang bisa diubek dari serakan informasi yang membentang di sepanjang internet, buku-buku, percakapan, khotbah, atau apapun. Apapun.
Hanya saja, rupanya kebijaksanaan beda dengan informasi. Yang disebut terakhir melimpah selayak air bah. Yang disebut pertama begitu halus hampir-hampir gaib. Saya pikir saya dapatkan berkasnya, lantas hidup menampar-nampar menyadarkan betapa saya sungguh tidak punya apa-apa.
Informasi ibarat makan. Tinggal ambil dari mana-mana dan masuklah ia dicerap akal. Akan tetapi, kebijaksanaan adalah dialektika internal dalam diri. Kita ambil apa-apa yang berasal dari luar, merenungkannya, mengejewantahkannya dalam tindakan, menghayati pengaruhnya pada diri, lalu merenungkannya kembali. Suatu proses panjang yang tak pernah selesai. Rasanya, sih, begitu.
Saya jadi teringat salah satu ceramah John Vervaeke dalam seri Meaning Crisis yang ia ampu. Pak Vervaeke bercerita soal para mahasiswanya yang ditanya, “dari mana kalian mendapatkan informasi?” Sebagian besar mengacungkan tangan, menjawab lancar menyebut internet, buku, YouTube, dan lainnya. Kemudian, pertanyaan kedua dilontarkan: “darimana kalian mendapat kebijaksanaan?”
Sontak hening dan ragu menguasai ruangan.
Rasanya memang ada yang salah dengan modernitas. Kita makmur, maju, pinter, tetapi tak pernah benar-benar sadar. Tak punya kebijaksanaan. Pendidikan formal mereduksi pengetahuan sebagai informasi, tak lebih.
Suatu sore sewaktu ngobrol-ngobrol dengan Kamila, sebagaimana biasa, saya larut dalam pikiran saya sendiri. Dengan cerewet saya lontarkan semua pikiran setengah-jadi, kali itu soal kebahagiaan.
“Saya percaya sebenarnya kalau orang sudah bisa makan, punya tempat tinggal, dan ndak telanjang, kebahagiaan cuma soal pengelolaan pikiran. Asal kita bijaksana, pasti kebahagiaan itu akan datang. Ndak perlu mobil, emas, rumah besar.”
Dan teman ngobrol saya itu menjawab singkat, “tapi ndak semua orang bijaksana.” Hahaha.
Ya, tidak semua orang bijaksana. Tidak semua orang matang kesadarannya. Dan banyak dari kita tak tahu di mana letak kebijaksanaan, tak tahu cara mematangkan kesadaran, bahkan tak sadar kalau kesadarannya sesungguhnya masih mentah. Dan kesadaran yang tidak matang meronta-ronta jadi sumber penderitaan.
Betapa seringnya saya tersiksa oleh pikiran sendiri!
Tapi sekecap dua kecap bahagia itu pernah juga saya rasakan. Ketika hati jernih dalam kekhusyukan dan pikiran rapi seimbang, lalu mendadak segala yang di sekitar, yang sebelumnya terasa banal, jadi berwarna dan menebal dalam keindahan. Mungkin keadaan itu yang dirasakan Marcus Aurelius. Suatu kebijaksanaan yang mengantarnya menuju kenikmatan hidup. Dengannya ia bedah kematian——melepaskannya dari takut dan sedih. Dengannya ia hayati rasa sakit. Dengannya ia kelola ketidakpastian. Dengannya ia serap keindahan alam.
Semoga kebijaksanaan sejati yang membahagiakan mengendap di hati kita semua.