Tentang bicara dan rasa bersalah yang menyertainya.
Setiap hari saya selalu bicara, pada diri sendiri ataupun orang lain. Soal hubungan tutur kata saya dengan yang pertama (diri sendiri), biarlah dibahas nanti-nanti. Di tulisan ini, saya ingin bicara terkait yang kedua.
Saya selalu merasa punya masalah dengan omongan. Hampir tiada hari yang lewat tanpa semacam sedikit sesal atau keluhan atau rasa bersalah terkait apa yang saya bicarakan. Ada perasaan tak nyaman, semacam gundah yang menggelayut tak pernah absen sepulang sekolah/kuliah/kerja terkait ucapan saya sepanjang hari itu. Biasanya, saya merasa terlalu banyak bicara. Sering pula saya merasa salah bicara——entah salah dalam cara menyampaikan atau apa yang disampaikan. Sering saya merasa bicara terlalu cepat, buru-buru, kelewat semangat sampai di pikiran terbersit: “ah, pasti saya kelihatan konyol sekali tadi sewaktu bicara.” Kali lain saya menyesal membahas suatu hal. Di kali lainnya, saya menyesal tidak membahas suatu hal.
Sesal, sesal, sesal; menumpuk satu demi satu.
Memang, saya merasa belum menjalani hidup dengan khusyuk. Mungkin itu titik pusat yang belum terperbaiki betul, yang membuat masalah-masalah dalam hal bicara tak kunjung juga hilang. Shalat, yang seharusnya jadi ritus paling suci yang di dalamnya bersih segala gusar, malah seringkali jadi arena pergulatan ide-ide dan ekses-ekses pikiran. Kekhusyukan juga ambyar pada hal-hal lain. Makan saya tak khusyuk——beberapa waktu lalu ketika makan ayam geprek berdua, Kamila mengingatkan saya untuk tidak makan dengan buru-buru dan seketika saya menyadari: “iya, ya, betapa saya buru-buru selama ini! Makanan saja lupa saya kecap. Pokoknya semua masuk, masuk, dan masuk.” Berkendara pun begitu: sering saya tak menaruh perhatian pada suasana jalanan Mataram yang sebetulnya indah-indah dan menarik, melainkan sibuk dengan pikiran sendiri yang tak jelas isinya apa.
Akhirnya, ekses-ekses ketidakkhusyukan ini pun merembes masuk dalam segala perilaku, termasuk berbicara. Kira-kira, begitulah teori gembel-nya.
Atau saya terlalu obsesif? Rasanya iya juga. Melihat kekurangan diri itu baik, tapi kalau berlebihan ujung-ujungnya akan merusak juga. Bukankah kesadaran akan kekurangan seharusnya melahirkan harap? Bahwa ada ruang perbaikan, bahwa kita ternyata tidak tersesat-tersesat amat (minimal kita tersesat dan tahu bahwa kita tersesat, ketimbang tersesat tapi merasa tidak tersesat). Sayangnya, seringkali saya malah menumpuk sesal alih-alih bersemangat memperbaiki diri.
Ah, saya bayangkan problem macam ini juga melanda Marcus Aurelius, si stoik sekaligus raja yang sedang saya baca jurnalnya. Barangkali pada suatu siang yang panjang ia habis mengadakan rapat dengan negarawan-negarawan Roma lain, lalu sesal melanda dirinya. “Tadi rasanya saya ngomong terlalu cepat … sepertinya tadi mereka kebingungan dan tak nyaman dengan kata-kata saya … belepotan sekali cara saya bicara tadi …” dan seterusnya, dan seterusnya.
Saya bayangkan ia menjadikan aktifitas menulis catatan harian sebagai obat hati sekaligus cara menghayati filosofi stoa yang dipegangnya teguh. Ia tuliskan soal tekad untuk tidak menghabiskan hidup dengan mengkhawatirkan orang lain. Untuk menjadi “yang suci … di dalam dirinya tak ada keresahan tentang pikiran, sikap, atau perkataan orang lain; ia letakkan perhatian hanya pada diri dan tugas-tugasnya.” Untuk terus sadar bahwa “semuanya sudah sesuai.” Setiap gerak atom sampai lontaran kata sampai pergerakan planet yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah karya agung semesta yang sudah sempurna dan harmonis——maka apa yang perlu disesali? Untuk mengukir dalam jiwa bahwa kita “hidup hanya dalam momen ini … hanya punya sekarang——satu momen waktu yang tak terbagi. Sisanya hanya masa lalu dan ketidakpastian.”
Mungkinkah stoik besar itu juga bagian dari jiwa-jiwa resah seperti saya?
Akan tetapi, rasanya keresahan Marcus Aurelius tak obsesif——pada diri sendiri maupun orang lain. Obsesi melahirkan sesal, yang akhirnya membuat kita terus-menerus hidup pada masa lalu. Marcus berusaha untuk hidup pada momen ini, pada sekarang yang di dalamnya tak mungkin ada sesal dan takut. Obsesi terhadap orang lain membuat saya memikirkan mereka, mengkhawatirkan reaksi mereka terhadap saya, sementara dia sebaliknya: ia ingatkan terus dirinya untuk lepas dari ikatan-ikatan sosial tak sehat semacam itu. Di jurnalnya terpancar tekad yang luhur untuk memperbaiki diri——bukan obsesi yang pekat dengan rasa takut dan khawatir. Dan saya ingin seperti itu: ingin mengubah sesal jadi bensin untuk memperbaiki diri, menjauhkannya dari api sesal dan khawatir yang hanya membuat sumpek, sesak, muak.