Ngalor ngidul membahas Marcus Aurelius, fana, dan cara merayakannya.
Adalah Nassim Taleb yang memperkaya pandangan saya tentang stoikisme. Sebelumnya, para stoik tergambar sebagai bapak-bapak anggun nan tenang yang “mati rasa” terhadap hidup. Berikan apapun, nikmat atau rasa sakit, dan raut wajah mereka akan tetap tak berubah. Namun potongan demi potongan esai dari Pak Taleb meyakinkan saya bahwa bapak-bapak ini tidak hanya punya sisi magnanimous; mereka juga petarung dan stoikisme adalah sebentuk perayaan akan hidup.
Kata Pak Taleb, “mereka seperti buddhist dengan tambahan jari tengah teracung pada hidup (atau: nasib).” Dan melayanglah imajinasi saya dibuatnya.
Menganjing-anjingkan nasib memang bukan laku pasif. Untuk tenang di tengah gemuruh masalah demi masalah yang tak pernah selesai membutuhkan kreatifitas, keaktifan, dan sikap taktis.
Saya membayangkannya begini: supaya tetap di tempat dan tidak ditelan gulungan ombak lantas dibawa masuk ke dalam lautan, seorang surfer mesti belajar menari dan meliuk di atas papannya. Atau: supaya tak tenggelam di kolam dalam, seseorang mesti menggerakkan tangan dan kakinya begitu rupa untuk terus mengambang.
Begitu pula nasib: geloranya datang silih berganti dan kita butuh akrobat mental untuk tidak gila dibuatnya.
Dan melalui jurnal seorang raja cum stoik bernama Marcus Aurelius, terhimpun dalam Meditation, saya mendapat kesempatan untuk mengintip pergulatan batin seorang manusia di hadapan nasib. Ia banyak berbicara soal fana. Soal waktu yang selayak sungai, yang “di dalamnya mengalir deras peristiwa demi peristiwa,” dimana “satu peristiwa datang sebelum sekejap lantas diganti tersusul peristiwa lainnya.” Soal kematian yang “dapat merenggutmu detik ini juga.” Soal segala sesuatu yang “betapa cepat akan musnah.”
Saya bayangkan betapa fana dan kematian sering menyelinap masuk ke dalam pikirannya sehingga ia butuh berkali-kali peringatan terhadap diri sendiri untuk mengusirnya.
Memangnya apa yang begitu menakutkan dari fana? Dari fakta bahwa semuanya akan binasa pada akhirnya?
Dalam diri saya temukan setidak-tidaknya dua tendensi. Pertama, rasa takut akan kekosongan. Kedua, rasa takut akan rasa sakit. Keduanya, saya pikir, terkait dengan fana (dan ketidak-fana-an sekaligus).
Ketakutan jenis pertama menyerap saya pada suatu pembayangan akan mati dan akhir. Akankah semua berakhir dalam ketiadaan? Ada rasa takut ketika membayangkan bahwa saya akan tenggelam dalam hitam tak berhingga. Bahwa warna-warna, rasa sedih, sekecap rasa manis, atau tawa sederhana akan hilang pada akhirnya. Habis, tandas tiada bersisa menuju lubang hitam berwujud tiada.
Kejadian demi kejadian dalam hidup membuat saya sadar akan keberadaan nafsu hewaniah yang sangat purba yang menahan saya untuk terus hidup, untuk tidak mati. Untuk terus, terus, dan terus menggali kenikmatan jenis apa pun yang bisa saya raup dari hidup.
Semalam, misalnya, saya mimpi mesti ikut perang. Sensasinya mengerikan. Di situ saya rasakan ketakutan yang amat pekat terhadap mati. Betul-betul takut mati. Memang, perasaan semacam ini tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali ketakutan terhadap mati hanya akan muncul ketika ia memang sudah membayang begitu jelas.
Di sisi lain, ada semacam kelegaan dari kematian. Hidup bukan senang-senang saja. Di dalamnya bertebaran rasa sakit yang melimpah sehingga kadangkala membikin saya jadi sedikit nakal untuk bertanya-tanya dengan sedikit mengharap: kenapa, sih, semua ini tidak berakhir saja? Biar saja kosong menjemput, membasuh habis semua derita, menelannya masuk dalam hitam! Jadinya, keberadaan fana bisa dilihat sebagai “solusi” atas ketakutan akan rasa sakit.
Kesadaran terhadap fananya dunia memang memberikan kelegaan tersendiri. Tak ada yang selamanya. Semuanya menunggu giliran mati. Ada yang bertahan hanya dalam detik, ada yang dalam menit, ada yang dalam jam, ada yang dalam hari, ada yang dalam bulan, ada yang dalam tahun, ada yang dalam abad, ada yang dalam milenia. Tapi tetap saja: semuanya mati. Maka penderitaan akan hilang——sehingga tak usahlah kita bersedih terlampau lama. Harta dan reputasi juga akan redup pada saatnya——maka tak usahlah kita terikat terhadapnya. Ada semacam “obat psikologis” dari perenungan semacam ini. Nafsu obsesif bisa diredam pada dua kutubnya yang ekstrem: menghindari rasa sakit dan mengejar kenikmatan.
Mereka yang agnostik atau atheis bisa berhenti di sini: mencoba menjalani hidup dengan seimbang berdasar fakta kefanaan ini. Sementara penghayat agama bisa bergerak lebih jauh. Dengan obsesi keduniaan yang sudah dijinakkan (karena betapa fana-nya ini semua!), mereka bisa mencari sesuatu yang lebih abadi, yang sudah disediakan oleh agama dalam kekayaan bangunan narasi dan konseptual seperti akhirat, nirwana, firdaus, neraka, karma, dan lainnya. Kemudian, dari penghayatan itu dunia tidak dijadikan lumpur berkubangnya obsesifitas tiada henti, melainkan lahan subur tempat menyemai kebaikan dengan tulus untuk kehidupan setelah dunia.
Kalau dipikir-pikir, fana juga punya semacam keindahan yang patut dirayakan.
Saya percaya kefanaan adalah berkah. Kematian adalah berkah Sebagaimana hidup juga berkah. Hidup dan mati——keduanya bagai yin dan yang. Kematian memberi jalan untuk kehidupan. Kehidupan memberi jalan untuk kematian. Segalanya adalah lingkaran hidup dan mati. Saat ini, dalam kenyataan saya, yang hidup adalah kegiatan menulis. Kemudian ia akan mati sebentar lagi, barangkali berganti kegiatan makan nasi.
Satu tarikan nafas akan mati, diganti oleh hembusan yang pada gilirannya akan mati diganti tarikan nafas yang lain.
Malam akan mati ditelan siang yang pada gilirannya akan mati ditelan malam.
Pohon-pohon kayu akan mati menjadi tanah yang menghidupkan benih-benih pohon baru yang pada gilirannya akan menjadi pohon-pohon kayu yang mati menjadi tanah kembali.
Semuanya datang-pergi silih-berganti. Kematian yang terus-menerus dengan ikhlas memberi jalan untuk kehidupan. Suatu lingkaran hidup dan mati yang melingkupi semesta——termasuk laku kemanusiaan dan diri kita yang turut serta didalamnya. Manusia, perasaan, kegiatan, institusi, barang, ide: semua akan mati. Semua akan memberi jalan bagi kehidupan lain untuk muncul.
Dan bukankah semua itu indah? Bukankah itu pantas dirayakan?
Bukankah itulah kenapa agama mengajarkan kita untuk membersihkan hati? Supaya nafsu hewaniah purbakala untuk terus hidup bisa diberdayakan secara seimbang? Supaya dalam keseimbangan itu juga hati kita mampu melampaui segala keterikatan terhadap dunia dan memahami kefanaan segala sesuatu di dalamnya secara semestinya? Supaya dalam pemahaman itu kita temukan ketenangan dan keindahan yang begitu dalam dan penuh warna? Supaya pada ujungnya bisa terengkuh berkas-berkas cahaya keabadian Tuhan yang ada di atas dan di dalam hidup, mati, atau kefanaan itu sendiri?
Dan dalam satu titik kontemplasinya tentang kematian, Marcus Aurelius jadi begitu puitik. Membicarakan waktu sebagai setitik fana. Membicarakan indah yang bersemayam dalam zaitun dan ara.