Blog oleh Hanif

Mengalami Pengetahuan

Sebuah eksplorasi (agak) panjang mengenai pengetahuan dan pengalaman.

Siapa yang lebih tahu tentang meja: tukang kayu yang memahat sebongkah kayu jadi meja atau seorang penulis yang merangkai esai indah sepanjang 5000 kata membahas meja? Pertanyaan ini sampai kepada saya melalui John Vervaeke dalam sebuah seri lecture-nya: Awakening from The Meaning Crisis. Dan sejak itu, apa yang saya konsepsikan sebagai tahu mengalami perubahan: jadi lebih kompleks, misterius dan indah.

Buat saya, pertanyaan di atas adalah sebuah pemandu yang mengantarkan kita pada satu area eksplorasi yang menyenangkan dan dalam. Eksplorasi terhadap pengetahuan. Apa itu tahu? Apa esensi dari mengetahui? Yang kemudian dapat merembet jadi satu rangkaian pertanyaan soal pendidikan dan kepakaran.

Nah, jadi, apa itu tahu? Kalau orang mengetahui sesuatu, apa yang berbeda dari dirinya sebelum ia tahu?

Pada seorang tukang meja, pengetahuan-nya soal meja ditunjukkan dengan kemampuannya memahat meja dari sebongkah kayu. Tanpa kata-kata, ia gunakan imajinasi dan daya pikirnya untuk melihat potensi ke-meja-an dari sebongkah kayu. Bahwa sebongkah kayu bisa diubah jadi meja. Kemudian, dengan keterampilan tangannya dibantu alat-alat pahat, ia mampu mengekstraksi potensi tersebut.

In a way, ia menjadi meja… ia mengerti apa (karakteristik macam apa) yang membuat meja menjadi meja. Ia tahu bagaimana menetapkan detail-detail kecil lewat proses penghalusan, pemotongan yang rapi, dan lain-lain untuk membuat meja tersebut semakin kukuh dalam identitasnya sebagai meja. Sebuah pengetahuan yang dalam, yang tidak bisa diejawantahkan secara eksplisit oleh bahasa. Sebuah pengetahuan yang begitu nyata dan tak terjelaskan di saat yang sama.

Eksperimen pikiran soal meja di atas membuat saya sadar kalau selama ini saya terlalu menggantungkan konsepsi pengetahuan dalam kerangka bahasa. Dengan kata lain: makin baik seseorang mendeskripsikan sesuatu, makin paham ia terhadap sesuatu. Pada sebagian kasus mungkin iya. Tapi pada semua kasus? Rasanya tidak.

Saya cukup yakin, akan ada banyak sekali pemahat kayu di luar sana yang tidak mampu membuat esai tentang meja sepanjang 5000 kata ataupun berbicara tentang meja selama satu jam. Namun, tidak sekali-kali saya berani bilang kalau status mereka sebagai “ahli meja” ditangguhkan karena hal tersebut.

Contoh-contoh “praktisi yang nggak banyak bicara” semacam ini bisa ditemukan pula lewat gitaris-gitaris handal. Derek Trucks, gitaris favorit saya, dalam sebuah wawancara mengungkapkan bagaimana ia tidak bisa benar-benar menjelaskan apa yang tangan kirinya lakukan ketika memetik gitar. Mereka seolah punya “pikirannya sendiri”. Begitupun dengan Andra Ramadhan yang isian-isian gitarnya menancap kuat dalam lagu-lagu Dewa. Ketika ditanya Iga Massardi bagaimana ia menciptakan solo-solo gitarnya, ia tidak punya jawaban eksplisit. Bagi Andra, solo gitar adalah sesuatu yang sakral. Tapi ia menciptakannya dengan begitu intuitif, dibantu inspirasi yang datang sekilas. Bukan lewat analisa panjang yang step-by-step, yang bisa orang ikuti. Aneh, memang. Seolah melodi-melodi tersebut turun begitu saja dari langit dan merasuki si gitaris.

David Foster Wallace juga pernah menuliskan kebingungannya terkait hal ini, lewat sebuah esai tentang Tracy Austin–atlet tenis berkarir tragis yang ia idolakan. Wallace menuliskan bagaimana ada diskrepansi besar antara apa yang ia rasakan sebagai penonton ketika melihat atlet-atlet top bermain dengan bagaimana si atlet mendeskripsikan diri mereka sendiri.

Wallace bisa menulis dengan panjang tentang bagaimana atlet-atlet kelas dunia seperti Michael Jordan, Roger Federer atau Tracy Austin mampu membuat kita terpana sebagai suatu paduan sempurna antara skill, kekuatan dan keindahan pada titiknya yang paling paripurna. Akan tetapi, ketika sang atlet yang dilihat sebagai setengah-dewa itu diminta mendeskripsikan hal-hal ajaib yang mereka lakukan di atas lapangan, jawabannya adalah sesuatu yang begitu banal. Bahwa mereka melakukannya karena “ya memang itu yang harus dilakukan”. Tidak ada pemikiran panjang. Tidak ada inspirasi surgawi yang tiba-tiba datang. Semuanya banal dan in the moment.

Dan, sebagaimana Wallace menyimpulkan refleksinya, mungkin memang begitulah adanya. Mungkin semua adegan magis seperti dribble panjang Messi atau dunk iconic Jordan memang tidak perlu ada dalam bahasa. Ia tidak perlu repot-repot direpresentasikan ulang dengan kata-kata. Cukuplah adegan itu sendiri yang berbicara. Untuk menikmati Messi, kita tak perlu membaca esai 5000 kata tentangnya. Representasi terbaik justru adalah cuplikan-cuplikan video-nya menggocek lawan. Sebagaimana untuk menikmati The Beatles cara terbaiknya adalah mendengarkan Abbey Road alih-alih membaca biografi mereka. Begitulah kira-kira.

In some sense, para praktisi ini tahu dengan mengalami. Mereka menjadi apa yang mereka ketahui. Mereka menjadi satu dengan instrumen dan objek pengetahuan mereka sampai pada titik tak ada lagi batas-batas antara pemain dan alat ataupun subjek dan objek. Ketika menyaksikan Messi pada titik tertingginya, ada perasaan seolah-olah ia telah menjadi bola itu sendiri. Begitu pula ketika menyaksikan Hendrix ketika bermain live–seolah ia menjelma gitar dan gitar menjelma dirinya.

Konsep tahu dengan menjadi ini bukan soal asing dalam peradaban manusia. Salah satu praktik perburuan dilakukan dengan cara menjelma menjadi hewan buruan itu sendiri. Ketika berusaha mencari jejak seekor rusa, dalam tim pemburu akan ada seorang sakti yang dinamai shaman, yang tugasnya adalah menjadi rusa. Dan lewat pengalaman menjadi rusa inilah ia bisa tahu kira-kira kemana rusa itu telah berjalan.

Dari tadi, kita bicara soal pengetahuan non-analitis. Yang tidak eksplisit. Yang tidak ada langkah-langkah ajeg-nya. Tapi mereka bukan barang langka yang hanya dimiliki orang-orang dengan keahlian tertentu saat melakukan kegiatan tertentu. In fact, mereka ada dalam diri kita, dalam peristiwa yang begitu biasa. Coba amati: pada gejala keseharian, ada banyak sekali pengetahuan-pengetahuan implisit yang tak terjelaskan.

Bagaimana kita bisa tahu jarak yang tepat untuk berdiri di hadapan orang lain? Bagaimana kita bisa tahu kata-kata yang pas untuk diucapkan pada situasi dan lawan bicara yang berbeda? Bagaimana kita bisa tahu besar suara yang pas ketika bicara dengan orang lain? Bagaimana kita bisa tahu kalau memukuli anak kecil adalah hal buruk? Semua aspek sederhana tersebut begitu esensial bagi kita untuk menjadi manusia normal yang punya tempat di masyarakat. Dan kita tidak benar-benar tahu bagaimana kita bisa mengetahuinya! Akan tetapi, apakah ketidakmampuan menjelaskan pengetahuan tersebut membuat kita menjadi less human? Tentu tidak. We are deeply human, tahu apa rasanya menjadi manusia dan bagaimana menjadi manusia, tanpa perlu menjelaskan kemanusiaan yang melekat dalam diri kita dengan kata-kata dan analisis panjang.

Yah, jadi begitulah. Pada akhirnya, mungkin tahu adalah soal menjadi, bukan menjelaskan. Dan di balik semua pengetahuan tersebut, mungkin tersimpan suatu kesederhanaan yang indah sekaligus ganjil. Yang dalam kesederhanaannya begitu nyata, tetapi tak bisa tertangkap oleh kata-kata–seberapa pun kompleksnya kata tersebut dirangkai. Jadi, selamat menjadi, selamat mengalami!

kategori: filsafat |