Tentang hal-hal yang semakin berusaha dikejar akan semakin sulit dicapai.
Banyak hal yang hanya bisa dicapai dengan jalan memutar.
Bahagia tidak diperoleh dengan berusaha untuk bahagia. Mengerjakan langkah-langkah yang ajeg dengan sistematis sembari menghitung perkembangan tingkat kebahagiaan setiap hari hanya menghasilkan frustasi yang menumpuk—dan menjauhkan saya dari kebahagiaan itu sendiri. Contoh lain: tidur. Berusaha keras untuk tidur hanya akan membuatmu lebih susah tertidur.
Tuhan memang mengasyikkan, dengan daya kreatif-Nya ia penuhi dunia dengan hal-hal menarik yang “bandel”: makin kita berusaha kejar, makin menjauhlah mereka. Coba pikirkan saja contoh lain semacam…
- overthinking (makin berusaha dihilangkan, pikiran tertentu malah makin kuat merekat);
- kekhusukan ibadah (makin berusaha keras untuk khusuk, makin tergoda pikiran saya mengeluarkan distraksi yang sebelumnya tak terpikirkan!);
- merubah perilaku seseorang (semakin dinasehati, saya cenderung semakin keras kepala);
- menulis (semakin direncanakan akan semakin membosankan);
- nongkrong (percakapan paling seru adalah percakapan-percakapan spotan).
Menangani maksiat
“Jalan memutar” adalah ilmu tua (yang terus bertahan). Old wisdom. Saya langsung terpikir beberapa kisah dalam Islam. Misalnya, tentang seseorang yang suka bermaksiat lantas ingin masuk Islam. Nabi—tanpa menyinggung maksiatnya—hanya berpesan untuk “tidak berbohong” . Kemudian, nasihat Nabi untuk pemuda-pemuda yang ingin menghindari zina adalah berpuasa . Keduanya adalah “jalan memutar”; maksiat tidak diberantas dengan brute force menuju sumber maksiat sendiri, melainkan secara tidak langsung lewat hal-hal yang sepertinya tidak berhubungan (menghindari bohong; berpuasa).
Saya juga jadi teringat nasihat Habib Umar bin Hafidz ketika ditanya (oleh seorang transgender) bagaimana pendapatnya tentang golongan LGBT—yang seringkali dicap akan masuk neraka. Jawaban Habib, dengan tutur yang begitu halus, adalah untuk menguatkan hubungan dengan Tuhan sambil berharap rahmat dan petunjuk-Nya . Lagi-lagi, “jalan memutar”.
Apabila sudah terbiasa, solusi halus semacam ini memang terkesan biasa saja. Kalau maksiat, ya, taubat. Apa spesialnya? Akan tetapi, kalau dipikir-pikir ada banyak cara yang lebih “efisien” untuk membuat orang keluar dari maksiat. Misalnya, mengancam mereka dengan neraka. Secara sosial, kita juga bisa menerapkan hukuman fisik langsung seperti pencambukan. Secara individu, seseorang bahkan bisa saja membuat hukuman untuk diri masing-masing setiap melakukan maksiat untuk memberikan efek jera. Dengan ini, maksiat ditangani secara langsung. Akan tetapi, menariknya, cara yang dianjurkan (setidaknya sepengetahuan saya) agama untuk menghindari kebanyakan maksiat adalah “jalan memutar”. Kalau berbuat dosa, kita tidak disarankan untuk memukul atau menyiksa diri sendiri. Sebaliknya, sarannya adalah untuk taubat, dzikir, shalat; hal-hal yang sesungguhnya nikmat.
Kurang nikmat apa, coba? Kita berbuat dosa tetapi alih-alih disiksa (atau disuruh menyiksa diri sendiri) malah diminta mendekatkan diri pada Dzat yang Maha Penyayang.
Dzikir seorang sufi dan ikhlas yang “dilupakan”
Cerita soal “jalan memutar” datang pula dari dunia spiritual Islam.
Dalam Mystical Dimensions of Islam, Annemarie Schimmel menulis mengenai kisah seorang lelaki bertanya pada sufi besar bernama Abu Usman al-Hiri: “aku berdzikir dengan lidahku, tetapi hatiku tidak berteman dengannya.” Sang sufi lantas menjawab: “bersyukurlah salah satu bagian tubuhmu sudah baik: mungkin nanti hatimu juga akan mengikutinya.”
Sikap yang rileks juga digambarkan Gus Baha soal ikhlas. Ia menyitir nasihat Mbah Ma’shum Lasem. Alkisah sebagai kiai, dzikir Mbah Ma’Shum seusai shalat dipertanyakan—apakah benar-benar ikhlas atau sebenarnya karena rasa nggak enakan terhadap santrinya karena sudah terlanjur dilihat orang sebagai kiai? Jawaban Mbah Ma’shum sederhana saja: “awalnya begitu (memang karena santri), tapi tetap saya jalani terus lama-lama jadi lupa. Nah, saat lupa itulah saya ikhlas.”
Kedua kisah ini mengajarkan suatu sikap yang rileks untuk mencapai kebersihan hati. Tidak ada suasana yang terkesan membabi buta atau amat memaksa. Dari sananya, hati memang tidak bisa dipaksa-paksa—bagaimana caranya, coba? Sama seperti tidur yang tidak bisa dipaksa. Maka dari itu, sikap para ulama dan wali adalah terus berusaha sembari menunggu tanpa memaksakan. Rick Rubin tentang menunggu
Satu lagi orang yang sangat paham tentang “jalan memutar” adalah Rick Rubin. Produser legendaris. Red Hot Chilli Peppers. Jay-Z. Jhonny Cash. Adele. Dalam satu bagian di bukunya, A Way of Being, ia menulis:
“When it comes to creative process, patience is accepting that the majority of the work we do is out of our control. We can’t force greatness to happen. All we can do is invite it and await it actively. Not anxiously, as this might scare it off. Simply in a state of continual welcoming.”
Sebuah paragraf yang, kalau dibaca-baca lagi, sebenarnya sangat “sufi”.
Kita jadi dibuat bertanya: kenapa, ya? Kenapa ada hal-hal yang untuk mencapainya dibutuhkan “jalan memutar”? Entahlah… sebenarnya, sebagai practicioner alias doer, kita tidak butuh “mengapa”. Kita hanya butuh “bagaimana”. Jadi, pertanyaan-pertanyaan itu bisa dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, dalam rangka mengisi kebosanan, tentu kita bisa berspekulasi dari macam-macam sisi.
Implisit versus eksplisit
Penting untuk diingat bahwa “jalan memutar” BUKAN menghindar dari tujuan. Tidak, tidak. Mari beranjak lebih detail. Ketika di awal saya bilang “bahagia tidak diperoleh dengan berusaha untuk bahagia”, versi yang lebih teliti adalah “bahagia tidak diperoleh dengan berusaha secara eksplisit untuk bahagia”. Dengan kata lain, “jalan memutar” adalah berusaha dengan implisit; mencapai tujuan secara tidak langsung—dan karenanya terkesan tidak efisien. Dengan logika yang sama, bisa disimpulkan bahwa hal-hal yang tidak bisa dicapai secara langsung (kebahagiaan, tidur, melepas overthinking, kesucian diri, dan lain-lain) bukan berarti tidak boleh dikejar. Tidak, tidak, tidak. Poinnya adalah: mereka bisa, boleh, harus (siapa yang tidak ingin bahagia dan tidur nyenyak?) dikejar. Hanya saja, mereka tidak bisa (atau sulit sekali) dicapai secara eksplisit, melainkan secara implisit.
Tidak ada yang objektif
Sains mengaburkan kita dengan asumsi kenyataan objektif. Ketika menatap botol Aqua di hadapan, mudah bagi saya untuk berasumsi apabila kenyataan botol Aqua bersumber dari sifat-sifat objektifnya: volume air, bentuk plastik, berat botol, dan lain-lain. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa kenyataan jauh lebih dalam dan kaya daripada satuan-satuan fisika macam ini. Saya tidak bisa mereduksi ibu saya hanya sebatas berat badan, bentuk geometris atau usia hidupnya. Ada sesuatu yang tak tertangkap “objektifitas” yang jauuhhhh lebih penting: gestur tubuhnya, caranya berbicara, “aura”-nya, kenangan bersamanya, dan lain-lain. Nah, hal-hal ini “cair”. Tidak ajeg. Berubah seiring interaksi dan persepsi saya. Kenyataan saya terhadap ibu tidak hanya dibentuk oleh apa yang ibu saya lakukan, tetapi bagaimana saya melihat ibu saya. Perasaan saya terhadap ibu berbeda ketika saya sedang jauh merantau (jarang bertemu) dengan ketika masih SMA (tiap hari bertemu). Artinya, kenyataan adalah hasil dari interaksi subjek dan objek, bukan objek semata. Contoh lain: persepsimu terhadap air putih ketika haus dan tidak haus.
Melalui kacamata ini (Iain Mcgilchrist membahasnya panjang lebar dalam The Master and His Emmissary), kualitas “bandel” tidaklah mengagetkan. Ia hanyalah suatu fenomena ketika sesuatu melahirkan karakteristik “mustahil dicapai” apabila kita melihat mereka “secara langsung”. Persepsi mengubah sifat. Maka dari itu, “jalan memutar” adalah perkara strategis karena satu-satunya cara (atau cara termudah) untuk mencapai mereka adalah dengan mengubah persepsi kita terhadap mereka dari yang sebelumnya “langsung” menjadi “tidak langsung”. Dengan kata lain, melalui usaha-usaha implisit.
Kita tidak berusaha tidur dengan “memaksakan” tubuh secara keras untuk tertidur. Memaksa adalah “usaha langsung” yang justru akan mengubah karakteristik tidur—menjadikannya semakin sulit dicapai. Usaha implisit juga seringkali berarti sekadar “menunggu”.
Soal menunggu, Rick Rubin memberikan insight yang sangat penting mengenai bagaimana “majority of the work we do is out of our control”. Artinya, ada hal-hal (banyak sekali hal, hampir semua hal, atau semua hal apabila kita mengikuti narasi agama) yang memang tidak bisa dicapai dengan usaha sendiri. Lebih jauh lagi, ada keadaan-keadaan dimana usaha kita tidak punya kontribusi sama sekali. Oleh karena itu, satu-satunya jalan adalah menunggu; menunggu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Bahagia bukan tujuan utama
Lebih dari sekadar perkara strategis, kebijaksanaan utama “jalan memutar” mungkin terletak pada perluasan perspektif. Maksud saya begini: barangkali kesalahan terbesar kita dalam mengejar hal-hal “bandel” tadi adalah memperlakukan mereka sebagai “tujuan utama”. Bahagia cuma tujuan sekunder, utamanya adalah untuk menjalani hidup yang ethical dan meaningful. Khusuk—apabila didefinisikan pikiran yang jernih—cuma tujuan sekunder, utamanya adalah berserah diri (buat apa fokus ibadah kalau dalam fokus tersebut kita berkubang dalam kesombongan karena merasa fokusnya lahir dari dalam diri alih-alih bantuan Tuhan?) Menulis cuma tujuan sekunder, utamanya adalah menyalurkan daya/inspirasi kreatif yang muncul tiba-tiba.
Tentu, tingkatan sekunder-primer ini berlapis-lapis. Sesuatu yang primer bisa jadi sekunder untuk sesuatu yang lain. Akan tetapi, satu hal tetap berlaku: kalau mau mendapat sekunder, kejarlah yang primer. Dan ketika primer sudah diperoleh, kemungkinannya ada dua: 1) sekunder otomatis diperoleh; 2) sekunder jadi tidak penting alias tidak perlu diperoleh.
Tentang doa
Mari kita eksplorasi doa dari sisi ini. Jika ingin kaya, pintar, bertakwa atau sukses, agama menganjurkan kita berdoa pada Tuhan. Usaha perlu tetapi doa esensial—mungkin (lagi-lagi: MUNGKIN) karena yang terpenting memang bukan tercapainya doa, tetapi berdoa itu sendiri. Berdoa adalah primer. Tercapainya doa adalah sekunder. Karena dengan doa kita berbicara dan berhubungan dengan Tuhan. Dan bukankah kedekatan itu yang paling penting? Ketika sudah dekat dengan Tuhan——Yang Maha Kaya, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Indah——(benar-benar dekat), siapa yang butuh harta/pacar/reputasi/kekuasaan? Maka justru dengan mendegradasikan hal-hal “bandel” sesuai “marwah”-nya sebagai tujuan sekunderlah mereka bisa dicapai dan tidak dicapai (karena ternyata memang tidak perlu dicapai). Hal ini dipahami oleh ulama-ulama besar Islam, seperti Ibnu Athaillah (pengarang Hikam) yang melihat hakikat doa sebagai ungkapan kehambaan. Saya ingin menutup dengan ucapan Mbah Mustofa Bisri: “walaupun para khatib mengajak untuk bertakwa, kalau kamu tidak mohon bantuan kepada Allah, hanya mengandalkan usahamu saja, maka hasilnya akan sulit. Takwa itu berat. Seperti yang saya katakan berulang kali, jadi ikhtiarmu harus disertai dengan doa, doamu harus disertai dengan ikhtiar. Hati-hati, jangan sampai melanggar aturan Allah, tapi juga memohon diberi ketakwaan” .
Jadi, pembaca yang budiman, secara diam-diam dan rahasia “jalan memutar” seperti doa mengajarkan kita untuk meluaskan frame of mind.
Esai ini hanya eksplorasi sementara. Tentu banyak hal terlewatkan. Misal: apa arti usaha implisit? Seberapa besar kadar implisitas yang dibutuhkan? Apakah itu artinya kita mesti lupa dengan tujuan utama? Atau boleh saja untuk sadar dengan tujuan tersebut selama tidak menujunya secara langsung? Ada hal-hal yang sepertinya memang butuh dilupakan. Hal-hal lain sepertinya hanya butuh usaha yang lebih “santai” dan tidak terburu-buru (ingat contoh sufi yang berdzikir). Atau mereka hanya butuh kesabaran menunggu (ingat tulisan Rick Rubin). Atau mereka perlu dikejar dengan melakukan hal lain yang berkualitas baik tapi tak berhubungan secara langsung (ingat contoh memberantas maksiat dengan taubat alih-alih menyiksa diri). Atau gabungan dari macam-macam sikap tersebut.
Eksplorasi soal primer dan sekunder juga bisa merepotkan. Mana yang utama dan tidak utama bisa sangat kontekstual. Tergantung kedewasaan, tergantung keadaan.
Menganalisa dengan detail hal-hal semacam ini rasanya tidak akan habis; sekaligus tidak begitu menarik dan penting. Bagi saya, poin pentingnya adalah untuk awas tentang nature dari hal-hal yang ingin kita peroleh. Jangan-jangan, kesulitan kita meraih mereka bukan karena usaha yang kurang keras, tetapi karena sifat “bandel” mereka; sehingga solusinya adalah mencari “jalan memutar”. Kita bisa memulai dengan mempertanyakan ulang signifikansi mereka (atau mencari “primer”; hal yang lebih signifikan), mencoba “melupakan” mereka, sekadar menunggu, mencari potensi cara-cara tidak langsung yang lebih enteng, atau menggali old wisdom dalam agama dan budaya tentang cara meraih mereka.
Sekian.