Ngalor ngidul bicara Heidegger… atau lebih tepatnya: membicarakan diri sendiri dengan mencatut nama Heidegger.
Tulisan ini tidak dibikin untuk menjelaskan gagasan Martin Heidegger. Tidak juga untuk menawarkan gagasan filsafat saya sendiri terhadap pembaca. Yang akan kamu baca setelah ini cuma pikiran, rasa dan emosi yang berserakan—entah apa sebutannya: racauan? refleksi? meditasi?—sesuatu yang timbul di dalam diri saya setelah berkenalan dengan gagasan-gagasan Heidegger. Bisa dibilang, halaman ini cuma “tempat sampah” untuk membuang pikiran saya yang penuh sesak. Maka dari itu, anggap saja dirimu sebagai pemulung, tikus got ataupun kucing kampung yang sedang iseng-iseng mencari sedikit rezeki baik dari tumpukan sampah. Nah, mari memulai proses pembuangannya.
Martin Heidegger. Sedikit sekali gagasannya yang terpapar pada saya, dan lebih sedikit lagi yang berhasil saya cerna. Akan tetapi, yang sedikit itu entah kenapa bisa begitu mengganggu sehingga terpaksa mesti saya damaikan dengan menulis. Saya yakin nama Heidegger sudah lewat berulang-ulang lewat bacaan dan tontonan saya—mungkin sejak SMP atau SMA. Akan tetapi, saya merasa baru benar-benar berkenalan dengannya lewat Iain Mcgilchrist. Nama terakhir bicara dan menulis banyak soal otak kiri dan otak kanan dan bagaimana keduanya punya pandangan dunia yang berbeda secara radikal antara satu sama lain.
Dan sejak mencicipi sedikit pikiran Mcgilchrist, saya langsung tahu: satu lagi mata air pengetahuan disuguhkan pada diri saya—begitu dalam dan terus mengalir, yang saya pikir butuh bertahun-tahun hanya untuk mengenalinya. Kadang saya bertanya-tanya: kok bisa seberuntung ini? Kok bisa diberikan rezeki pemahaman yang sebegini berlimpah? Duh, saya cuma bisa minta maaf kalau tak bisa bertanggung jawab dengan semua yang telah diberikan sampai sekarang. Akan tetapi, sesedikit-sedikitnya saya akan coba berusaha untuk membagikan apa yang saya ketahui dengan semampu saya. Waduh, malah meracau kemana-mana. Jadi, kembali pada Heidegger dan Mcgilchrist.
Seperti yang telah saya utarakan, Mcgilchrist membedah bagaimana manusia mempersepsikan kenyataan, pertama-tama lewat perspektif neurologis—otak kiri dan otak kanan. Kita bisa bicara panjang untuk mengurai bagian mana tentang perbedaan otak kiri-otak kanan yang masuk ke dalam pseudosains dan mana yang sains, tetapi itu bakal makan waktu kelewat lama sehingga kalau kamu tertarik langsung saja mulai ngulik-ngulik sendiri dengan nonton beberapa interview dari Iain Mcgilchrist. Yang jelas, dua persepsi kenyataan itu begitu bertolak belakang. Yang perbedaan pada keduanya kemudian membuka pintu pula untuk merangsek masuk ke dalam area fisolofis yang lebih mendalam lagi soal pertanyaan akan kebenaran, etika, pengetahuan, kenyataan, dan seterusnya dan seterusnya…
Dengan jeli Mcgilchrist menjabarkan panjang lebar tentang perbedaan kedua ruas otak tersebut. Bahwa yang satu simplistik (mencoba untuk mereduksi kenyataan dalam aturan-aturan, hukum atau bentuk-bentuk apapun yang formal, terpisah dalam komponen-komponen kecil, konsisten dan sederhana), yang satu holistik (melihat kenyataan sebagaimana adanya dengan segala kompleksitas dan keruwetan yang berlangsung setiap momennya). Yang satu individualistik (melihat apapun di luar ‘diri’-nya sebagai alat untuk menguntungkan diri), yang satu empatik (melihat dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari apa-apa yang ada di luar diri, sehingga hubungan dengan apa yang ada di luar bukanlah subjek-objek melainkan semacam untaian-untaian benang yang saling menjalin saling merawat dan saling berdansa antar satu sama lain). Dan seterusnya, dan seterusnya… lagi-lagi, ulik Mcgilchrist kalau tertarik menyelami lebih lanjut.
Secara neurologis, kedua perbedaan ini—lewat berbagai pembuktian yang panjang—dilacak oleh Mcgilchrist dalam dualisme otak kiri dan otak kanan. Otak kiri adalah si aktor ‘simplistik-individualistik’, sementara otak kanan adalah si ‘holistik-empatik’. Nah, tapi dalam bukunya Mcgilchrist tak berhenti dalam penjelasan neurologis. Ia mengajak saya sebagai pembaca mengunjungi berbagai penjuru tempat yang bisa dipakai untuk memandang persoalan ini. Salah satunya adalah lewat napak tilas yang panjang terhadap gagasan berbagai filsuf besar mengenai hal tersebut. Tak ada bahasan neuorologis dalam pemikiran mereka, tetapi Mcgilchrist menunjukkan bahwa—secara implisit maupun eksplisit—mereka mengetahui, meresapi dan menggeluti dualisme world view yang telah dijelaskan di atas. Dan salah satu dari mereka adalah Martin Heidegger.
Sebagai filsuf yang punya banyak gagasan dalam rentang waktu panjang, tentu mustahil untuk mem-beku-kan Heidegger dalam satu kerangka yang absolut. Bahwa ia adalah A, B, C atau pemikirannya adalah C, D, E. Pasti ada evolusi, perkembangan, perubahan bahkan mungkin kontradiksi. Yang jelas, dari pemikiran Heidegger yang saya konsumsi dengan sangat kecil (ditambah asupan lain di sana-sini), akal saya jadi tergelitik. Yang dulunya materialistik kini makin “mengawang” saja, makin penuh pertanyaan. Yang dulunya komputasional dan eksak kini makin cair, makin tidak ajeg. Yang dulunya penuh percaya diri kini makin terasa tak absolut.
Ada banyak hal yang membuat saya berubah. Heidegger hanya bagian kecil dari itu. Tapi, ia jelas unik. Dan membikin saya makin penasaran. Bayangkan dipaparkan oleh satu gagasan bahwa puisi adalah jalan utama yang mampu mengungkap kebenaran! Hahaha. Lalu bagaimana ia melihat Kebenaran sebagai sesuatu yang Ada tetapi bersifat timbal-balik. Tak nihil tapi juga tak ajeg. Penuh nuansa dan berproses antara subjek (pencari kebenaran) dan objek (kebenaran itu sendiri). Sesuatu yang sangat, meminjam gagasan Mcgilchrist, “kanan”. Ia tak menaruh kepercayaan pada bahasa yang ketat, formal, logis, reduksionis. Melainkan coba menerima dunia “sebagaimana adanya”. Sisi saintis-materialistis saya terusik dengan pandangan macam ini. Ia tidak ingin runtuh dalam ketidakpastian. Ia ingin sesuatu yang pasti, objektif, tak berubah. Tak peduli bahwa sesuatu tersebut dingin dan pada akhirnya menghasilkan pandangan dunia yang kosong. Dan sekarang, pandangan yang pelan-pelan tumbuh dan menguat dari SMP ke SMA itu mulai meruntuh dan berubah lagi. Mulai melunak oleh keragu-raguan yang (salah satunya) diinjeksikan oleh pemikir macam Heidegger.
Tapi di dalam penggojlokan penuh ragu ini juga pelan-pelan timbul mutiara pemahaman baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Di alam pikir saya adalah pertarungan antara spiritualisme dan materialisme. Antara keinginan untuk “menatap langit” dan “menapak bumi”. Antara keinginan untuk “damai” dan untuk “benar”. Antara “kebimbangan yang tak berujung” dan “kepastian yang ringkih”. Antara keinginan untuk “percaya” dan semangat “mempersetankan semua yang tak jelas”. Ada keterombang-ambingan. Saya pernah bertahun-tahun condong pada yang kedua, dengan setengah berani membuang semua tempat berpijak dan menaruh jalan hidup pada sains dan materialisme. Menolak segala yang “gaib” dan “butuh percaya”. Saya pikir begitulah seumur hidup akan dihabiskan. Dan ternyata bodoh sekali pemikiran itu.
Ternyata semua jauh lebih misterius. Ternyata saya cuma secuil akal tak berarti di tengah lautan kompleksitas tak hingga—yang berani-beraninya menaruh kepastian hanya kepada aksioma-aksioma sains dan logika. Kini hal itu makin meluntur. Makin digerogoti ragu dan membusuk, tetapi pelan-pelan saya merasa diganti oleh bibit pemahaman yang lain. Sesuatu yang lebih rendah hati. Sesuatu yang lebih “tidak grasak-grusuk”. Sesuatu yang lebih sadar akan ketidaktahuannya sendiri. Sesuatu yang, in some sense, lebih percaya diri dan optimis. Bahwa dikotomi-dikotomi yang dulu dibuat mungkin hanyalah semu. Bahwa jalan selamat itu ada dan, walaupun tidak jelas ketercapaiannya, ia bisa dijalani. Ya, saya merasa bisa berjalan sekarang. Meski sedikit pincang dan jatuh-bangun. Masih belajar. Tapi bisa berjalan. Sesuatu keberkahan yang begitu menenangkan, yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan.