Kita hidup di dunia yang makin menjauh dari sakralitas. Katanya, segala yang terjadi sesungguhnya cuma gerakan atom-atom yang tunduk terhadap hukum alam: tak lebih dan tak kurang. Segala fenomena supranatural—yang dianggap tidak tunduk pada hukum alam—satu demi satu dibuktikan palsu. Kita bersorak melihat para dukun santet ditantang dan tak berkutik. Kita bersorak melihat rumah-rumah berhantu didatangi lantas ditertawakan karena tak bisa bikin si pengunjung kesurupan atau ketakutan barang sedikitpun.
Tapi apakah selanjutnya kita akan bersorak ketika malaikat dibuktikan tak ada? Apakah selanjutnya kita akan bersorak ketika mukjizat nabi-nabi ternyata hanya cerita karangan bangsa-bangsa kuno? Apakah selanjutnya kita akan bersorak ketika kebaikan dan kejahatan dianggap ilusi hasil evolusi semata? Apakah selanjutnya kita akan bersorak karena Tuhan (ya, Tuhan) dibuktikan tak lebih dari sekadar mitos pengejawantahan ketidaktahuan manusia sepanjang milenia?
Di mana yang gaib? Hilang, lebur, hancur—karena dari awal memang tak pernah ada. Dulu ia berguna: Mikail mengisi kekosongan pengetahuan kita tentang turunnya hujan, Raqib dan Atid mengisi kekosongan hukum positif dan keberadaan Pak Polisi yang Baik Hati. Tapi sekarang kita sudah punya sains yang menyingkap dunia setelanjang-telanjangnya lewat hukum-hukum alam yang digarap oleh Newton, Heisenberg, Einstein, Darwin, dan kawan-kawan. Lalu teknologi (yang sudah dan akan terus berkembang!) menjadi alat-alat yang membentuk dunia itu sesuka hati selayak jari-jemari membentuk plastisin.
Kelaparan, pemanasan global, polusi, depresi, perang nuklir, dan segala macam masalah yang muncul belakangan? Tenang saja. Duduklah diam dan tunggu ilmuwan-ilmuwan top notch di belahan dunia sana menemukan formula mutakhir untuk memperbaiki semuanya. Teknologi baru, sistem pemerintahan baru, produk hukum baru, yang akan menyelesaikan semua keruwetan ini menuju kemajuan peradaban yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tapi apakah benar begitu?
Sebagai bagian dari orang-orang beragama, saya merasakan adanya desakan zaman untuk jadi modern. Salah satu penandanya adalah upaya-upaya untuk menggabungkan sains dan Islam. Argumen yang sering menggema: Islam tak bisa lepas dari sains. Seabrek perintah dalam Qur’an misalnya, adalah perintah untuk merenungi alam raya. Mengamati langit, pohon-pohon, hujan, awan, nyamuk dan melihat kekuasaan dan kasih sayang Tuhan di baliknya. Dan bukankah sains adalah pengamatan terhadap alam raya?
Kita juga butuh teknologi untuk melawan penindasan. Lihatlah apa yang terjadi di Palestina dan betapa kita menggigil karena hanya bisa menyaksikan kekejaman tanpa banyak kekuatan untuk mengirim rudal ke wilayah setan-setan dan sekalian bajingan yang tega-teganya menyiksa manusia dengan sebegitu sadisnya.
Saya setuju, setuju betul dengan semua itu. Tapi, makin saya dalami sains dalam bentuknya yang modern, makin saya ragu apakah ia bisa kawin dengan agama—terutama aspek spiritual di dalamnya.
Suka tidak suka, sains modern bukan hanya observasi yang innocent terhadap alam. Di dalamnya melekat suatu aksioma—kepercayaan yang dipegang teguh—terhadap suatu pandangan dunia (world view) yang materialistis dan kuantitatif. Yaitu semacam pemahaman bahwa segala fenomena di dunia bisa direduksi kepada pergerakan benda-benda (yang dibentuk oleh unit materi paling dasar seperti proton, neutron dan bahkan lebih kecil lagi). Materi-materi ini bergerak tunduk oleh hukum alam yang tetap dan pasti.1
Materialisme itu sangat seksi. Bersama dengan logika, model saintifik, dan matematika, ia menyediakan “kunci ilmu pengetahuan”. Kunci yang darinya semua hal bisa diketahui. Setidaknya, begitulah kelihatannya. Begitulah janjinya. Lewat materialisme-saintifik, akar dari kenyataan adalah benda-benda yang tunduk pada hukum alam. Hukum alam pada gilirannya bisa diekspresikan lewat logika dan matematika. Maka, semua fenomena bisa dijelaskan melalui narasi ini.
Mengapa kita bisa sedih? Sederhana saja: panca-indera kita (mata, telinga, hidung, kulit, lidah) mendapatkan stimulus dari luar. Kemudian, stimulus tersebut mengirimkan sinyal-sinyal kimiawi yang menjalar ke otak. Kemudian, area-area otak tertentu menjadi aktif maupun non-aktif karena sinyal tersebut. Hasil dari konfigurasi tersebut akhirnya menghasilkan sensasi sedih.
Mengapa ada kebaikan? Persepsi terhadap apa yang baik berasal dari konfigurasi otak manusia. Konfigurasi tersebut lahir dari proses panjang evolusi selama jutaan tahun. DNA kita sebagai spesies diwariskan melalui proses reproduksi. DNA, pada gilirannya mewariskan konfigurasi otak yang bisa menginterpretasi apa itu baik, buruk dan lain-lain. Lewat seleksi alam, DNA yang akan bertahan adalah yang paling bisa beradaptasi terhadap kondisi alam (predator, iklim, ketertarikan seksual, dan lainnya). Maka, persepsi kebaikan ada karena orang-orang dengan konfigurasi otak yang memiliki persepsi tersebut mampu bertahan hidup dan bereproduksi untuk mewariskan DNA-nya. Dengan kata lain, persepsi kebaikan adalah hasil dari seleksi alam terhadap DNA manusia. Ia semata-mata hadir dan dimiliki manusia karena membantu kita sebagai spesies untuk bertahan hidup.
Dan jangan lupa kalau otak adalah benda yang ujung-ujungnya terdiri atas kumpulan sel yang terdiri atas kumpulan atom. Dan atom tunduk pada hukum alam. Maka, semua hal berujung pada konfigurasi kebendaan atom yang diatur oleh hukum alam dan bisa diukur secara matematis dan logis.
Meminjam kata Nietszche: “Tuhan telah mati”—dan di dalam tanah pekuburan-Nya terbawa pula segala yang spiritual, sakral, mistis.
Dengan materialisme-saintifik, kita berikrar bahwa kasih sayang seorang ibu dan kesyahduan ibadah dan gugusan bintang-gemintang di langit yang seolah menghentikan waktu sesungguhnya hanyalah suatu konfigurasi atom yang tunduk pada hukum alam yang matematis dan logis. Begitulah kenyataan.
Tak ada lagi ruang bagi misteri. Semua jelas dan terang benderang. Ada optimisme, bahwa semua hal bisa diketahui pada akhirnya. Kita hanya perlu terobosan demi terobosan saintifik. Dan hilanglah semua yang tak terjelaskan. Tunduklah alam semesta pada kita.
Tapi betapa miskin! Betapa dangkal. Betapa hampa. Betapa kosong. Betapa aneh.
Dalam materialisme semuanya memang “jelas”, tapi… ada sesuatu yang terlewatkan. Sesuatu yang sangat-sangat besar. Ada lubang menganga dalam jiwa saya yang tidak dapat diisi oleh materialisme. Kekosongan yang tak bisa saya jelaskan dengan eksplisit tapi terasa betul keberadaannya.
Pada nyatanya, “lubang menganga” yang ditinggalkan materialisme bukan cuma kekosongan yang hanya bisa dirasakan. Whitehead, matematikawan sekaligus filsuf, menyerang materialisme-saintifik dengan eksplisit. Idenya yang penting adalah identifikasi soal bifurkasi dalam pandangan materialisme-saintifik.
Melalui bifurkasi, dunia dibagi menjadi dua: 1) hal-hal yang bisa dideskripsikan secara matematis (kuantitas), seperti suhu, kecepatan, panjang, besar frekuensi, panjang gelombang, dan lain-lain; 2) hal-hal yang tidak bisa dideskripsikan secara matematis (kualitas), seperti merahnya mawar, birunya langit, ademnya angin, kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. (Renungkanlah bagaimana hal-hal yang kedua, kualitas, terasa jauh lebih nyata, kompleks, dekat, dan hidup dibanding yang pertama.)
Kemudian, dan inilah yang akhirnya mematikan segala yang sakral (atau bahkan: mematikan segala yang nyata), setiap kualitas dianggap sebagai fenomena turunan yang disebabkan oleh kuantitas! Artinya, kualitas pada esensinya berasal dari kuantitas.
Perasaan cinta yang menggebu-gebu atau duka yang mendalam pada esensinya adalah gerak-gerik sel-sel otak. Dingin yang menusuk dan menghasilkan melankoli adalah hasil dari interaksi gerak atom-atom hidrogen dengan permukaan kulit yang mengirimkan sinyal-sinyal saraf ke otak.
Kualitas hanyalah mirage, fatamorgana yang palsu. Yang nyata adalah kuantitas. Itulah bifurkasi. Sederhana, “bersih”, tetapi sepenuhnya absurd.
Karena bagaimana bisa pergerakan atom dalam tingkat tertentu menghasilkan kualitas seperti “hijaunya daun”, “birunya langit”, atau “rasa cinta”? Entah. Pokoknya, ya, dianggapnya saja begitu. Karena kata siapa kalau yang lebih esensial adalah kuantitas alih-alih kualitas? Tak ada renungan bahwa yang sesungguhnya nyata bukanlah abstraksi matematika, tetapi justru kualitas yang coba dijelaskan olehnya. Lagi-lagi, renungkanlah: mana yang lebih nyata, “birunya langit” atau “konfigurasi frekuensi cahaya pada tingkat tertentu”?
Jangan-jangan, frekuensi cahaya yang direkam oleh alat hanyalah ekspresi dari warna-warna, bukan esensi yang menyebabkannya ada. Jangan-jangan, gejala-gejala di otak hanyalah ekspresi dari keadaan emosional kita, bukan esensi yang menyebabkannya ada.
Bayangkan kamu sedang bersedih dan kemudian melihat ke arah cermin. Wajah sedih dan air matamu yang terpampang di depan cermin hanyalah pantulan satu dimensional dari fenomena kesedihan yang kamu rasakan. Ia bukan esensi, apalagi penyebab dari sedih itu sendiri!
Intinya, kecerobohan besar materialisme-saintifik adalah “lompatan besar” yang dilakukannya dari kuantitas ke kualitas.
Kalau dipikir-pikir, materialisme-saintifik dengan bifurkasinya adalah semacam pemberhalaan, pemujaan, atas segala yang eksplisit. Kualitas, secara inheren, adalah sesuatu yang implisit. Nikmatnya pahit-manis dalam secangkir kopi tak bisa dijelaskan dengan angka-angka, sistem logika, bahkan bahasa. Paling jauh, ia bisa “disentuh” barangkali lewat puisi atau bentuk seni lain; hal-hal yang jauh lebih liar dan tak bisa “dijinakkan” oleh matematika. Dan demi penjinakan, demi kontrol, materialisme-saintifik menghapus semua kekayaan yang dimiliki kualitas.
Sebagaimana kutipan dari Wolfgang Smith:
What is the physical universe? We are told that it consists of space, time, and matter, or of space-time and energy, or perhaps of something else still more abstruse and even less imaginable, but in any case we are told in unequivocal terms what it excludes: as all of us have learnt, the physical universe is said to exclude just about everything which from the ordinary human point of view makes up the world. Thus it excludes the blueness of the sky and the roar of breaking waves, the fragrance of flowers and all the innumerable qualities—half-perceived and half-intuited—that lend color, charm and meaning to our terrestrial and cosmic environment. In fact, it excludes everything that can be imagined or conceived, except in abstract mathematical terms.
Lantas bagaimana dengan teknologi? Toh, sains modern menghasilkan macam-macam alat yang membuat hidup kita jauh lebih nyaman. Laptop yang saya pakai untuk menulis artikel ini, mesin yang dipakai untuk menggiling dan membungkus kopi yang sedang saya minum, motor yang saya pakai untuk berangkat kerja: semuanya hasil dari sains modern, kan? Saya cerewet soal ini dan itu tentang sains modern, menganggapnya sebagai narasi yang palsu terhadap kenyataan. Akan tetapi, ujung-ujungnya saya tak bisa lepas dari “produk” mereka untuk menunjang hidup. Maka terkait ini ada empat poin:
Pertama, saya tidak bermasalah dengan sains dan materialisme sebagai alat untuk menghasilkan teknologi.2 Masalah saya adalah sains dan materialisme sebagai world-view. Kita perlu formula Newton untuk membuat pesawat. Akan tetapi, jangan jadikan aksioma-aksioma yang ada di dalam formula tersebut untuk membentuk cara pandang terhadap dunia. Jadikan ia semata-mata sarana membuat teknologi, bukan alat pencari kebenaran. Teknologi dan kebenaran: percayalah, keduanya sangat sangat sangat jauh berbeda.
Kedua, teknologi modern melahirkan kemungkinan-kemungkinan penderitaan yang mengerikan. Lihatlah bom nuklir. Lihatlah senjata biologis. Lihatlah pornografi. Baru pada zaman inilah umat manusia punya kemampuan untuk menghasilkan penderitaan dalam skala planet, bahkan membuat punah dirinya sendiri. Baru pada zaman ini. Mengapa bisa? Satu kemungkinan alasan: terobosan sains. Satu kemungkinan lain (yang rasanya jauh lebih menarik): kita sudah kehilangan kebijaksanaan. Dulu kita percaya akan keberadaan keindahan, kebenaran, kebaikan. Mitos-mitos, ajaran agama, simbolisme, dan beragam ritus menjadi perkakas untuk mencapai ketiganya. Kini semua itu dikubur habis, dimonopoli oleh materialisme saintifik yang sepertinya tidak bisa menyediakan banyak hal kecuali teknologi untuk memanipulasi alam. Dalam banyak hal, hidup kita memang jadi nyaman dan lebih mudah dengan itu. Tetapi…
Ketiga, apakah kita lebih bahagia? Serius. Coba renungkan: apakah manusia zaman modern lebih berbahagia? Kita barangkali hidup lebih nyaman, lebih kaya, lebih maju, lebih panjang umur, lebih banyak hiburan, bahkan mendaku lebih pintar. Tetapi apakah kita sudah berbahagia?
Keempat, soal tinkering. Ini agak teknis dan cukup nuance dan saya terlalu malas untuk menggali dalam-dalam di sini. Intinya: dalam sebauh buku keren berjudul Antifragile Nassim Taleb berargumen apabila seringkali teknologi datang bukan dari eksperimen sains, melainkan hasil coba-coba (trial and error) yang berulang. Sains hanya datang kemudian untuk menjustifikasi teknologi. Contoh paling gamblang: sebelum ada geometri Euclid, orang-orang sudah membangun beragam bangunan kokoh dan indah. Kok bisa? Ya, karena mereka tidak membangun pakai rumus matematika, tetapi mengacu pada heuristics atau aturan-aturan yang sudah teruji turun-temurun. Kapan-kapan barangkali saya akan menulis soal ini. Tentang waktu sebagai filter paling tokcer, tentang antifragility, tentang lindy effect, dan apa-apa yang terkait dengan gagasan Pak Taleb (sepertinya tidak perlu dijelaskan, tetapi ya: dia adalah penulis favorit saya).
Dan kembalilah kita lagi ke pertanyaan awal: apakah benar begitu? Apakah segalanya hanya gerak-gerik atom yang dingin? Apakah teknologi akan membawa kita digdaya? Saya harap apa-apa yang tertulis di atas menyediakan bahan untuk merenungi pertanyaan ini.
Kita bisa mengangkat bahu dan melupakan saja soalan-soalan di atas sebagai suatu spekulasi filosofis yang hanya cocok dilakukan oleh mahasiswa filsafat atau pengangguran kurang kerjaan.
Tapi, sungguh, soalan materialisme dan world-view yang menyertainya bukan spekulasi filsafat iseng-iseng semata. Kebanyakan kita mungkin tidak menemukan materialisme-saintifik dibawa dalam bentuk yang eksplisit. Kita tidak membaca Dawkins yang mentah-mentah menolak agama dan Tuhan. Kita tidak membaca Sam Harris yang menertawakan iman, kemudian menawarkan sistem etika hanya dengan basis saintifik. Akan tetapi, secara implisit, tanpa sadar, kehidupan kita telah dibentuk oleh pandangan dunia semacam ini.
Memangnya kenapa konsepsi sukses kita terkungkung semata-mata hanya pada uang dan harta? Memangnya kenapa segala jargon soal produktifitas dan kesuksesan yang kita praktikkan tidak pernah memberikan rasa puas dan tenang? Memangnya kenapa pohon-pohon tak lagi mengundang kita untuk menatapnya lama? Memangnya kenapa gunung-gunung sudah tak lagi menyerap kita dengan keagungannya yang laksmi dan kini hanya jadi simbol penaklukan dan eksploitasi? Memangnya kenapa alam sudah berhenti membuka diri, menyapa kita dengan tasbihnya yang suci, dan kini kita hanya bisa melihatnya sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan demi memperkaya diri? Memangnya kenapa kita kehilangan makna dan alasan untuk terus hidup? Memangnya kenapa kita pelan-pelan mulai melihat hidup hanya sebagai lingkaran setan yang di dalamnya kita selalu dikurung oleh pekerjaan, negara atau tuntutan sosial? Memangnya kenapa kita tak pernah lagi merasa bebas? Memangnya kenapa kita semakin soliter dan terserap oleh layar kaca handphone di depan mata? Memangnya kenapa para kekasih mulai menganggap satu sama lain sebagai alat pemuas nafsu alih-alih samudera makna tak terhingga untuk diselami? Memangnya kenapa setiap ilmu yang kita pelajari di sekolah terasa hampa dan tak lebih dari sekadar alat untuk lulus sekolah dan mendapatkan kerja?
Segala soalan-soalan di atas dimulai dari cara kita melihat dunia. Makna yang riil takkan pernah bisa ditemukan dalam dunia yang hanya terdiri atas benda-benda yang bergerak tanpa jiwa. Dalam dunia yang dingin dan materialistis macam itu, etika dan moral hanyalah “kesepakatan sosial” supaya kita bisa sama-sama hidup tanpa membunuh satu sama lain. Dalam dunia yang dingin dan materialistis macam itu, kebahagiaan tak pernah lebih dari kenikmatan tubuh yang makin dikejar makin tak puas kita dibuatnya. Maka makna terbesar hanya terletak pada memperbanyak uang, memperbanyak seks, mempertinggi status sosial: yang penting tidak mengganggu orang lain. Pelan-pelan, begitulah cara kita hidup. Pelan-pelan, dunia kehilangan warna.
Yah, tapi saya percaya dunia tidaklah sesuram itu. Rasanya, tak ada atheisme massal. Yang ada hanya kebingungan massal. Di satu sisi kita masih menikmati puisi, masih takjub pada purnama, masih terketuk hatinya melihat ketidakadilan. Hanya temuan-temuan saintifik mulai menggerogoti hati dengan ragu, gerak-gerik zaman dan masyarakat pun mulai menutup mata kita akan definisi kesuksesan di luar yang bersifat materiil. Ya, kita cuma orang-orang bingung yang tak sadar kalau sedang dihimpit oleh gelombang besar zaman. Orang-orang yang bersorak dan terisak pada saat yang sama.
Saya meniatkan tulisan ini sebagai sekeping perenungan saja; tapi lama-lama malah jadi panjang. Terlalu panjang. Maka biarlah renungan kebablasan ini ditutup dengan sebuah kutipan dari Emha Ainun Nadjib. Ucapannya sederhana menusuk:
“materialisme adalah alat utama Dajjal dan Iblis untuk memperdaya Anda”.
Catatan Kaki
-
Pembacaan saya lebih lanjut menunjukkan hal menarik: bahwa banyak saintis top yang justru lepas dari anggapan ini. Mereka punya sofistikasi yang tinggi. Semisal Heisenberg, dedengkot fisika kuantum yang berkata: “if one can speak of a world-view (Naturbild) of the exact sciences in our time, this actually refers no longer to a view of Nature, but to a view of our relationship to Nature”. Akan tetapi, secara implisit maupun eksplisit, begitulah pemahaman saintifik yang dibentuk terutama di perguruan tinggi, digaungkan oleh banyak intelektual publik, dan merasuk pada “konten-konten sains” di budaya populer kita.
Kemudian, tentu aksioma sains modern lebih kompleks dari pada materialisme saja. Ada pula asumsi soal alam semesta yang bersifat closed-system, hukum alam yang tetap, dan lainnya. Barangkali baik juga ditulis di artikel terpisah. ↩
-
Dengan catatan besar, tentu. Biar bagaimanapun, teknologi yang dihasilkan dengan pandangan materialistis secara langsung akan menganggap dunia sebagai sesuatu untuk dieksploitasi. Intinya, materialisme dan pandangan sains modern mesti “dikurung”. Ia hanya bisa menjadi “pelayan” dari pandangan dunia yang lebih luhur. Terkait hal ini, ada buku yang sangat penting dari Iain Mcgilchrist berjudul The Master and His Emissary. Kapan-kapan akan saya bahas. ↩