Blog oleh Hanif

Catatan tentang Pendakian

Sebuah refleksi singkat terhadap pengalaman saya mendaki bukit.

Setelah mendaki bukit Pegasingan semester lalu, Sembalun seketika jadi magnet. Ada kesan yang dalam ketika melakukan pendakian di bukit-bukitnya: pemandangan sepanjang jalan, trek penuh tantangan, suhu dingin, dan seterusnya, dan seterusnya.

Sebetulnya, sulit sekali untuk mendeskripsikan apa yang saya rasakan selama mendaki. Ada buntalan besar pengalaman yang dalam dan penuh warna. Yang sekelumit darinya bisa saya akses ketika menutup mata sejenak. Akan tetapi, begitu coba dituangkan lewat kata-kata, semuanya buyar begitu saja.

Ada sesuatu dari barisan bukit—yang menampakkan dirinya ketika saya menyusuri trek sempit yang diapit tebing dan jurang—yang entah-bagaimana-caranya memberikan perasaan ‘teringat’. Seolah ada bagian dari diri saya yang berasal dari gunung, yang ‘pulang’ dan diingatkan kembali soal asal-muasalnya.

Semuanya juga bertaut dengan rasa takut. Rasanya bukit-bukit tadi bisa menelan saya kapan saja. Dan jurang-jurang licin di sebelah akan dengan mudah menarik kedua kaki yang minim pijakan untuk masuk terperosok bertemu maut. Perasaan lemah dan kecil tumbuh, tapi ketiadaan pilihan untuk berhenti akan memaksamu untuk terus berjalan. Pelan-pelan dibuat mengerti: alam yang begitu indah ini bisa membunuh saya kapan saja, tetapi mereka mengijinkan saya untuk tetap hidup dan melihat.

Modernitas memisahkan indah dan takut. Kita bisa dengarkan lagu-lagu catchy, nonton film-film keren, lihat lukisan-lukisan indah hanya dengan berkorban waktu dan sedikit uang. Akan tetapi, ketika keduanya campur aduk di saat pendakian, rasanya seperti dipaksa mengerti kalau keindahan jauh lebih dalam dari sekadar apa yang tersaji di layar-layar kaca. Indah jadi jauh lebih dalam—di dalamnya bercampur takut sekaligus kagum. Saya juga tidak mengerti. Mungkin rasa takut dan bahaya adalah ‘bahan rahasia’ yang membuat segala sesuatu jadi lebih berkesan. Mungkin keindahan memang tidak pernah bisa dipisahkan dari rasa takut dan upaya memisahkannya hanya menghasilkan sesuatu yang me-narik tetapi kosong, kering dan dangkal.

Dan Rinjani yang ada di hadapan ketika sampai di atas bukit: besar sekali. Begitu fajar tiba, awan-awan tebal perlahan hilang. Kemudian dia terlihat, menampakkan puncak dan setengah tubuhnya. Guratan-guratan yang terukir di atasnya tampak begitu purba. Tua sekali. Puncaknya tak menampakkan simetri khas bangun-bangun geometris di buku pelajaran matematika. Ada kemiringan, bukan sudut 90 derajat. Pagi itu warnanya kuning keemasan. Kemudian begitu cepat berubah-ubah ke arah spektrum biru dan hijau, membuat saya terkaget. Bagus sekali.

Rinjani memang istimewa. Setelah melihatnya, rasanya saya jadi lebih mengerti arti kata agung. Lagi-lagi ada rasa takut. Juga kagum. Bayangkan kamu dikunjungi oleh malaikat—dia tampakkan keindahan yang sebelumnya tidak pernah terlihat, sementara di saat yang sama ia bisa membunuh dan menyiksamu kapan saja. Itulah, saya pikir, arti dari agung. Mungkin penggambaran malaikat maut yang sama sekali tidak menarik dengan jubah hitam dan sabitnya tidaklah tepat. Karena lewat gunung-gunung saya sadar kalau sesuatu yang mendekatkanmu pada maut bisa tampak begitu indah.

Terus, bagaimana dengan Yang Maha Agung, ya? Gunung saja sudah begitu agung dan membuat saya tertegun panjang, apalagi Dia. Apakah ketika nanti benar-benar dipanggil, saya sudah siap untuk menghadap? Gunung yang keagungannya cuma “secuil” di hadapan-Nya saja sudah bikin saya ciut sampai sebegitunya, apalagi Dia.

Saya hanya bisa memohon Kasih dan Sayang-Nya.

kategori: personal | renungan singkat |