Sedikit cerita tentang pengalaman gua berinteraksi dengan keponakan-keponakan yang masih bocah.
Setelah menghabiskan waktu cukup lama bersama bersama keponakan gua (+ keponakan tetangga) yang masih bocah, gua jadi merasa sedikit punya pengertian terhadap fenomena-fenomena klise seputar menjadi orang tua.
Dari apa yang gua amati, menjadi orang tua rasanya seperti mengalami emotional roaller coaster. Ada ayah yang bilang kalau rasa sayang ke anak itu jauh berbeda dengan rasa sayang ke istri—berkali-kali lipat lebih kuat. Ada orang tua yang bilang kalau mereka rela mengorbankan apa saja untuk anak-anaknya—termasuk nyawa. Gua nggak asing dengan kisah pengorbanan ibu, pengorbanan ayah, untuk seorang anak.
Dan di sisi lain… ada semacam rasa muak. Gua tahu soal baby blues. Bagaimana mengurus anak bisa membuat seorang ibu begitu stres. Gua pernah menonton sebuah film horror dimana si ibu—saking tertekannya—mulai membayangkan untuk membunuh anaknya yang masih bocah. Yah, berita-berita kriminal tiap harinya juga tak jarang menyajikan peristiwa pembunuhan macam itu. Ibu membunuh anak. Catatan penting: tentu perbandingan kasus antara ibu yang melakukan kekerasan terhadap anak dan yang tidak bisa jadi sangat jauh. Tapi… kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan itu ada.
Yah, begitulah: roaller coaster. Setidaknya dari anekdot-anekdot yang gua dengar. Dan gua bisa memahaminya. Bocah-bocah kecil itu seperti malaikat dan setan dalam bentuknya yang paling murni. Atau mungkin lebih tepatnya: mereka memperlihatkan sisi-sisi terang dan gelap manusia secara sekaligus. Dengan jujur. Tanpa ditutup-tutupi.
Mereka bisa begitu penuh kasih sayang. Dengan cara-cara yang aneh dan mengagetkan. Tiba-tiba mengelus rambut gua tanpa sebab. Tiba-tiba mengajak gua bermain. Tiba-tiba menatap gua dengan ekspresi yang lugu. Tiba-tiba mengucapkan kata yang membuat hati gua hangat. Akan tetapi, di saat yang sama, mereka bisa menampilkan kekeraskepalaan yang begitu menjengkelkan. Keinginan khas bocah yang membuat frustasi. Bagaimana mereka tidak bisa berkompromi. Bagaimana mereka ingin keinginan-keinginan mereka terpenuhi—makanan, waktu bermain, perhatian, dan lainnya—tanpa peduli situasi. Bagaimana mereka seringkali menjadi manipulatif dengan tangis-tangis mereka. Lewat mereka gua memelajari tentang sisi-sisi baik dan buruk gua: dalam bentuknya yang paling innocent.
Waktu-waktu bersama mereka membuat gua sadar: punya anak itu bisa jadi pengalaman yang magical dan mengerikan di saat yang sama.
Gua sayang dan jengkel sekaligus. Aneh, ya. Hahaha.
Mungkin memang begitulah rasanya jadi orang tua.