Eksplorasi gua terhadap pikiran dan perasaan sendiri. Melalui pertanyaan terus-menerus dan (semoga nantinya) eksperimentasi.

Seminggu terakhir ini sedang berkutat dengan pikiran-pikiran soal karir. Yang memicunya? Tim Urban lewat artikelnya.
Pada dasarnya, formula yang dia tawarkan (untuk memilih karir yang tepat) terdiri atas dua komponen: 1) sesuatu yang elo inginkan; 2) sesuatu yang elo lakukan. Dan karir yang tepat ada di irisan antara keduanya. Sederhana. Nice and crisp. Tetapi nggak trivial karena … keinginan dan realita itu kompleks sehingga memahami keduanya bukan hal mudah.
Inspirasi dari Eksplorasi Keinginan-nya Tim Urban
Ambil contoh keinginan. Memangnya, apa sih yang sebenarnya elo inginkan? Yang bener-bener elo inginkan. Bukan yang orang-orang di sekitar ingin untuk elo inginkan. Bukan yang orang tua lo ingin untuk elo inginkan. Bisa jadi ada banyak hal yang elo inginkan bukan karena mereka inherently meaningful buat elo, tetapi karena elo butuh pengakuan—entah dari society, orang tua, atau teman-teman dekat. Bisa jadi ada banyak hal yang (mungkin) elo pingin lakukan tetapi nggak pernah terpikirkan—dikubur dalam-dalam—karena takut dicap aneh oleh orang lain.
Jadi, bagaimana untuk mengetahui keinginan kita yang sebenarnya? Yah, gua percaya ini proses yang terus berkelanjutan. Keinginan bisa berubah. Ada yang tahan lama, ada yang sebentar. Ada yang datang bolak-balik. Akan tetapi, rasanya tempat paling baik untuk memulai adalah dengan menuliskan semua hal-hal yang elo pingin dan memikirkan mereka semua satu-satu. Mempertanyakannya untuk memastikan kalau mereka benar-benar keinginan elo.
Anyway, satu exercise panjang soal mengeksplorasi keinginan diri lewat pertanyaan (yang terpendam dan yang ada di permukaan) tadi membuat gua tertarik untuk menerapkannya secara lebih luas dan lebih sering pada aspek-aspek lain dari kesadaran gua.
Eksplorasi yang Gua Lakukan
Misalnya, sekitar satu jam yang lalu gua gelisah. Ada semacam perasaan nggak nyaman. Daripada membiarkannya begitu saja (biasanya memang akan hilang sendiri), gua mencoba membedahnya lewat pertanyaan-pertanyaan. Apa yang sedang gua pikirkan ketika gelisah? Kebermanfaatan gua di dunia. Memangnya, ada apa dengan kebermanfaatan? Gua takut kalau di dunia ini cuma jadi parasit—cuma makan-minum-berak tanpa ngasih manfaat ke orang lain … dan akhirnya gua mencorat-coret satu halaman kertas selama beberapa waktu soal apa yang gua lakukan beserta potensi manfaat dan kerugiannya: menghasilkan beberapa insight kecil yang menarik.

bahagia = kertas + bolpoin
Mempertanyakan perasaan ternyata bisa membawa gua ke tempat-tempat menarik, membantu gua untuk mengenal diri sendiri dengan sedikit lebih baik. Tentu, bisa jadi perasaan gelisah tersebut datang hanya karena gejala biologis di otak (mungkin dopamin gua menurun atau neurotransmitter lain berubah kadarnya secara agak signifikan atau fenomena lainnya) dan pikiran soal kebermanfaatan tersebut cuma efek samping. Kalau begitu, nggak apa-apa juga. Justru kegelisahan tersebut bisa memberikan gua kesempatan untuk mengeksplorasi ketakutan-ketakutan gua—kali ini soal kebermanfaatan.
Setelah mencoba untuk lebih aware terhadap pikiran dan perasaan yang datang tiba-tiba, gua mulai menyadari beberapa yang sering datang. Ada orang-orang dan khayalan akan peristiwa tertentu yang sering mampir ketika gua ngelamun. Ada pula perasaan yang secara konsisten muncul pada situasi tertentu atau ketika gua berinteraksi dengan orang tertentu. Daripada membiarkan fenomena-fenomena ini lewat begitu saja, gua mungkin bisa menjadikan mereka sebagai sumber pembelajaran untuk mengenal (dan syukur-syukur memperbaiki) diri.
Faktor Biologis dan Efek Samping
Di sisi lain, gua percaya bahwa faktor biologis memegang peran penting terhadap well-being manusia. Sepengetahuan gua, faktor-faktor seperti tidur, nutrisi, olahraga, interaksi dengan manusia, maupun exposure terhadap cahaya sangat berpengaruh terhadap hormon dan neurotransmitter yang ujung-ujungnya akan mengubah keadaan emosional seseorang. Jadi, kalau elo gelisah dibarengi pikiran tertentu, bisa jadi yang bermasalah bukan pikirannya, tetapi konfigurasi kimia di otak elo.
Kalau elo mengalami bad mood sepanjang hari setelah mendengar seseorang meneriaki elo dengan sebutan “monyet”, bisa jadi yang bermasalah bukan sebutan “monyet” tersebut atau orang yang meneriakinya. Mungkin malam sebelumnya elo kurang tidur sehingga jadi lebih sensitif. Atau mungkin elo kebanyakan minum kopi.

Jangan lupakan pula perilaku-perilaku semacam nonton Tiktok atau nonton bokep atau main PS yang kalau dilakukan dalam jangka waktu yang signifikan bisa menurunkan tingkat dopamin di otak elo secara signifikan: menghasilkan perasaan males ngapa-ngapain atau kehilangan rasa nikmat terhadap hidup.
Jadi, lagi-lagi, kalau lo merasa hari elo nggak bermakna atau penuh dengan bad mood atau kesedihan, bisa jadi yang bermasalah bukan pekerjaan elo atau temen-temen elo atau keluarga elo. Bisa jadi yang bermasalah adalah hal-hal yang lebih “sederhana”: pola tidur, makanan, konsumsi sosial media, dan lain-lain. Sisanya bisa jadi cuma “efek samping”. Walaupun tentu mengeksplorasi “efek samping” tersebut bisa menghasilkan insights pula.
Catatan: gua mendapatkan banyak insights soal hubungan antara faktor-faktor behavioral/biologis (seperti tidur, nutrisi, atau olahraga) dan well-being dari podcast oleh Andrew Huberman.

hal-hal yang memengaruhi isi kepala elo
Kesimpulannya…
BISA JADI. Gua ingin menekankan hal itu. Semuanya “mungkin”, “bisa jadi”. Perasaan dan pikiran elo BISA JADI cuma efek samping dari keadaan biologis atau MUNGKIN memang sesuatu yang point out ke aspek-aspek kehidupan elo yang lain. Gimana supaya memastikannya (atau setidaknya lebih mendekati kepastian)? Eksplorasi. Pertanyakan mereka. Lakukan eksperimen terhadap diri sendiri.
Yah, gitu deh. Selamat bereksplorasi!