Blog oleh Hanif

Ditertawakan Seorang Sufi

Tanpa sadar, keinginan memenjarakan saya.

Saya memulai pagi dengan geleng-geleng kepala: menyaksikan + mendengarkan tantrum seorang bocah. Sebabnya adalah godaan sebatang coklat, ingin dimakannya tetapi tak bisa karena satu dan lain hal. Mungkin ibunya melarang, mungkin coklatnya mesti dibeli dulu di warung, dan mungkin-mungkin yang lain. Tangisan tumpah ruah. Teriak. Tantrum. Dalam hati saya bergumam——sambil sedikit kesal karena keheningan pagi saya dihancurkan begitu saja——soal betapa menyedihkannya si bocah. “Cuma sebatang coklat yang hanya akan memberi sensasi manis tak lebih dari 22 detik lalu hilang sepenuhnya dan bisa-bisanya bocah sial ini menggila sedemikian rupa?” Akan tetapi, dalam satu kilatan, saya diingatkan oleh pikiran sendiri yang datang tak diundang bahwa: bukankah saya juga begitu? “Coklat” saya adalah kepastian pekerjaan, kekayaan, pertemuan dengan teman dan pacar, kelulusan kuliah, kopi panas pagi hari, dan seterusnya, dan seterusnya. Mereka tidak didapatkan dan saya resah. Stres. Pusing. Tantrum dengan cara yang bisa diterima untuk orang dewasa——dalam senyap, dalam tawa yang dibuat-buat, dalam selimut kata-kata manis penuh pembenaran yang sebetulnya kosong saja——sementara diam-diam jauh lebih menderita dari bocah tadi. Maka saya membayangkan seorang sufi——yang maqam-nya begitu jauh di atas——melihat semua kesusahan saya lalu mengelus dadanya penuh rasa iba. Atau mungkin (kalau dia dari jenis yang diberkahi selera humor melimpah) ia akan tertawa terbahak-bahak sambil bergumam: “kok bisa sebegitunya hati pemuda ini dibikin susah oleh sesuatu yang begitu fana dan tidak berarti!”

kategori: psikologi |