Membahas distraksi internet yang sering sekali mengganggu saya.
Saya sering dan mudah sekali terdistraksi. Misalkan ketika sedang menulis kode pemrograman. Harusnya, 90 menit saya dedikasikan dengan fokus penuh untuk programming. Akan tetapi, yang lebih sering terjadi adalah terpecahnya fokus tersebut. Baru menit ke-30, atensi saya tak kuasa menolak godaan untuk membuka Whatsapp. Kalau sedang beruntung, sepersekian detik begitu chat terpampang di layar, saya sudah mematikan hape lagi. Sadar kalau membuka WA sama sekali tidak berguna pada momen tersebut. Akan tetapi, yang lebih sering terjadi adalah saya terperangkap. Bulatan-bulatan hijau tanda chat tak terjawab begitu menggoda untuk diklik. Maka kemudian atensi saya tenggelam dalam membaca pesan-pesan singkat ini dan itu yang tidak punya urgensi untuk dijawab sama sekali. Dan hal ini seringkali tak berhenti pada pesan singkat. Seperti makan coklat, “informasi ringan” menghasilkan candu. Saya tidak bisa berhenti. Tidak bisa puas. Maka dari chat saya akan meloncat pada status WA, dan seringkali meloncat lagi ke YouTube atau Twitter atau Instagram. Dan tenggelamlah saya—bisa puluhan menit, bisa berjam-jam—dalam lautan informasi sampah tak bertujuan. Melupakan pekerjaan.
Paragraf di atas saya pikir sudah cukup menggambarkan bagaimana distraksi menggerogoti perhatian saya. Tentu, skenarionya amat beragam. Titik mulanya tidak harus WA: bisa YouTube, Twitter, IG, hingga Wikipedia. Yang jelas, sebagian besar sumber distraksi itu adalah internet. Percakapan orang asing di meja sebelah bisa mengelabui saya: tapi tak pernah lama. Suara tukang di rumah tetangga juga bisa, tapi lagi-lagi, tak pernah bisa “menenggelamkan”. Sepengalaman saya, hanya “makhluk internet”-lah yang bisa memerangkap perhatian saya dengan begitu kuat. Sosial media, YouTube, Whatsapp, artikel-artikel berita…
Istilah yang saya temukan untuk mendeskripsikan gejala “distraksi internet” ini adalah zombie scrolling. Sebuah frasa bikinin McAfee (sebuah security company) untuk mendeskripsikan efek dari adiksi hape. Definisinya sederhana: “mindless scrolling out of habit, with no real destination or benefit. Scrolling-scrolling hape nggak jelas tanpa tujuan atau keuntungan nyata apapun. Yang dilakukan cuma karena kebiasaan.
Lantas, pertanyaan yang coba saya tanyakan terhadap diri sendiri adalah: kok bisa terdistraksi? Atau lebih tepatnya: kok bisa sering sekali terjebak melakukan zombie scrolling? Jawabannya kompleks. Yang jelas, kita bisa melihatnya dari berbagai macam sudut.
Kita bisa mulai dengan berbicara soal betapa catchy-nya konten di dalam hape. Mereka seperti coklat. Penampilannya menarik. Mengkilat. Mengundang untuk diraih, dimakan. Dan begitu dimakan rasa manis akan menyeruak. Enak sekali. Dan begitu tertelan habis akan memberikan sensasi tak puas yang menuntut saya untuk memakannya lagi, lagi dan lagi. Informasi di hape juga seperti itu. Mereka begitu menarik. Short-short YouTube 30 detik berisi orang-orang aneh melakukan kegiatan aneh begitu menyita perhatian. Kadang lucu, kadang bombastis, kadang sedih. Pokoknya menarik sekali. Dan begitu selesai, jari-jari tangan tak bisa menolak untuk melakukan swipe menuju video-video lain yang menunggu dalam antrean panjang tak terhingga.
Tapi… apa yang catchy? Ada apa di dalam konten-konten tersebut? Coklat memberikan rasa manis. Tapi apa yang diberikan short-short YouTube atau story WA atau tweet? Entahlah. Sulit juga mendeskripsikannya. Yang jelas, mereka seperti membajak bagian otak saya yang begitu kepo, yang begitu ingin tahu. Sisi kepo ini begitu lapar akan informasi. Dan informasi yang biasanya mesti dicari, ditelusuri lewat usaha-usaha yang tidak mudah kini datang seperti hujan deras. Disuapi lewat konten-konten internet. Dan tak peduli juga informasinya apa! Pokoknya informasi saja. Mengetahui berita pembunuhan di daerah X atau kehidupan pribadi seorang pesepakbola atau perkelahian seru di kota A atau aktivitas seseorang membangun kolam renang bukanlah hal yang ingin saya cari ataupun penting untuk saya ketahui, tapi sisi kepo saya tak peduli. Ia cuma ingin informasi. Dan konten-konten memberikannya dengan instan, cepat, gratis, tanpa menunggu, tanpa usaha.
Saya pikir, informasi yang didapat dengan cara instan semacam ini juga bisa punya efek ilusif—memberi kesan bahwa si penerima adalah orang yang cerdas, berpengetahuan, bahkan bijaksana. Padahal, ketiga karakteristik barusan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan cara memiliki (having). Melihat mereka sebagai sesuatu yang bisa diperoleh juga sudah salah. Cerdas, pintar, bijaksana adalah sesuatu keadaan, sesuatu yang sifatnya menjadi (being). Ia muncul sebagai bagian dari pengembangan diri alih-alih perolehan sesuatu. Bayangkan dua orang yang berhasil mencapai puncak Rinjani. Orang pertama mencapainya setelah perjalanan 2 hari yang melelahkan dan penuh lika-liku. Orang kedua mencapainya setelah menaiki helikopter: tanpa setetes keringan pun hadir. Keduanya melihat pemandangan yang sama. In a sense, keduanya memeroleh hal yang sama: puncak Rinjani dengan seisi pemandangan serta suasana indahnya. Akan tetapi, kita bisa merasakan gap besar di antara kedua orang tersebut karena poinnya memang bukan memeroleh (having). Poinnya adalah menjadi (being) dan puncak Rinjani hanyalah “umpan” yang dipakai sebagai cara untuk mengembangkan diri. Saya rasa, begitu pula dengan informasi. Dua orang bisa memeroleh informasi yang sama. Akan tetapi, cara perolehannya bisa jauh beda. Dan cara perolehan tersebutlah yang jadi poin penting untuk mengidentifikasi kecerdasan seseorang.
Dilihat dari sisi yang lain, segala gegap gempita informasi di internet juga menjadi cara paling manjur untuk membuat saya mati rasa. Distraksi melenakan saya—membuat saya sejenak melupakan rasa sakit. Dorongan paling tinggi bagi saya untuk membuka sosial media adalah kecemasan. Ketika menghadapi masalah yang menimbulkan kecemasan, kita bisa mencoba untuk memecahkan masalah tersebut. Akan tetapi, memecahkan masalah tidak gampang. Ia butuh pemikiran, usaha, waktu. Cara yang lebih cepat untuk “menghilangkan” kecemasan tersebut adalah melupakannya—dan sosial media jadi ruang paling efektif untuk membuat kita “tidur lelap” dalam informasi semu, masalah semu, gagasan semu yang cukup engaging tapi tak punya implikasi apa-apa terhadap hidup.
Yah, jadi begitulah. Sekelumit bahasan ini saya pikir sudah cukup memberi gambaran tentang distraksi internet. Kita bisa melihat informasi dan distraksi yang ditimbulkannya dari berbagai macam sudut: betapa menariknya mereka, ilusi kecerdasaan yang mereka timbulkan, atau bagaimana mereka bisa meredakan rasa sakit (untuk sementara). Saya harap, dari tulisan singkat ini bisa dimengerti kalau distraksi atau zombie scrolling bukanlah fenomena sederhana. Dan tentu, kalau dipikir-pikir, distraksi bukanlah sesuatu yang inherently buruk. Tergantung konteksnya saja. Mendistraksi pikiran selama beberapa menit setelah stuck berjam-jam dalam pekerjaan bisa jadi malah memberikan kelegaan dan inspirasi baru. Masalah yang pelik dan bikin stres berat mungkin bisa sedikit diredakan pula dengan distraksi dari khayalan-khayalan tolol di siang bolong. Akan tetapi, ada saat-saat ketika distraksi menjadi buruk. Saya pikir, ini adalah sesuatu yang secara intuitif bisa dirasakan: kapan distraksi terasa buruk, kapan distraksi terasa baik.
Dan kalau kamu merasa distraksi-distraksi ini mulai mengarahkan hidupmu ke arah yang tidak diinginkan, mungkin kamu bisa memulai dengan refleksi sederhana: mengapa saya terdistraksi? Mengapa saya membuka sosial media ketika saya seharusnya melakukan hal lain? Mungkin mereka cuma suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit (cemas, sedih, bosan, marah, dan lainnya). Mungkin juga bagian dari aspirasi (sekaligus kemalasanmu) untuk berkembang jadi lebih cerdas. Atau deretan mungkin yang lain.
Catatan akhir:
- kalau tertarik dengan konsep having dan being yang sebelumnya saya kemukakan, teman-teman bisa menggali lebih dalam dengan membaca buku dari Erich Fromm, To Have or To Be?.