Blog oleh Hanif

Knut Hamsun, Lapar dan Moralitas Manusia

Kesan saya setelah membaca “Lapar”, sebuah novel karya Knut Hamsun

Saya menelusuri perpustakaan UI dan menemukan Lapar: sebuah terjemahan bahasa Indonesia dari novel Knut Hamsun. Seketika saya langsung memutuskan untuk meminjam dan membacanya. Alasannya sederhana saja: nama Knut Hamsun pernah disebut-sebut oleh penulis favorit saya.

Lapar, pada dasarnya, merupakan eksplorasi mendalam terhadap keadaan jiwa seseorang yang lapar. Nah, kapan terakhir kali kamu merasa lapar?

Saya rasa, kita benar-benar telah tercerabut dari sensasi lapar. Makanan begitu mudah didapat. Tentu, setiap harinya saya merasakan “lapar kecil”—ketika belum makan siang atau melewati sarapan. Akan tetapi, saya nggak pernah terjebak dalam keadaan tidak makan selama 24 jam. Paling lama 16 jam, lah—sesuatu yang pernah saya lakukan secara rutin beberapa bulan lalu. Saya pikir, kebutuhan biologis mendasar semacam makan, minum dan tidur bisa diolah menjadi suatu humbling experience untuk mengenal diri sendiri sekaligus mengeksplorasi kerentanan kita sebagai suatu sistem biologis. Cobalah berpuasa dan amati apa yang berbeda dalam dirimu. Cobalah tidak tidur dan amati apa yang berbeda dalam dirimu. Satu hal menarik yang saya sadari dari pengalaman tersebut adalah bahwa rasa lapar dan mengantuk sebetulnya bukanlah penderitaan secara inheren. Gampangnya begini: lapar adalah sebentuk pengalaman yang tidak enak. Titik. Itu saja. Akan tetapi, yang membuatnya menjadi penderitaan adalah ketika kita menganggap kalau kita harus menghindar dari pengalaman yang tidak enak.

Penderitaan itu menarik. Lapar, haus, sakit, bosan, sedih, bingung… hal-hal tadi ingin dihindari oleh tubuh. Akan tetapi, saya percaya bahwa akan ada suatu “pintu yang terbuka”, sekeping kebaruan, sebentuk aktualisasi diri, ketika kita mampu menerima penderitaan tersebut. Bahkan, pada sudut pandang tertentu, mereka sesungguhnya bukan penderitaan. Tetapi sampai pada tingkat mana? Saya berpuasa dan bisa menerima rasa lapar yang saya dapat ketika selama 12 jam tidak memasukkan apapun ke dalam perut. Tapi bagaimana dengan 24 jam? Atau 2 hari? Atau 3 hari? Sampai pada titik mana praktik kesabaran atau olah jiwa berakhir dengan kutukan terhadap Tuhan atas penderitaan yang diciptakan-Nya di dunia?

Secara psikologis, berpuasa secara sengaja berbeda dengan rasa lapar yang hadir karena ketidakmampuan untuk makan. Ketika kita berpuasa secara sengaja, ada kepastian bahwa nanti kita bisa makan. Bahwa makanan itu ada dan kita bisa mengambilnya kapan saja kalau kita mau. Kita berperang dengan nafsu sendiri. Bahwa kita bisa makan, tetapi memilih untuk tidak makan. Akan tetapi, rasa lapar yang riil akan menghasilkan suatu godaan yang lain. Kita bisa “berperang” dengan Tuhan. Marah dengan ketidakmampuan kita untuk mendapatkan secuil makanan dan keadaan dunia yang tak terkontrol.

Begitulah yang dilakukan “Aku” dalam Lapar: ia mengutuk Tuhan—sesekali, sebelum kembali bersujud kemudian mengutuk lagi. Ada semacam perasaan mengerikan yang tertangkap: bahwa ia seolah terombang-ambing oleh rasa lapar. Bahwa secuil makanan membolak-balikkan emosi dan keadaan jiwanya secara luar biasa. Saya rasa, pandangan seseorang terhadap Tuhan dapat mencerminkan banyak hal soal pandangannya terhadap dunia dan dirinya sendiri.

Lapar juga, sebagaimana novel-novel luar biasa lainnya, membawa pertanyaan mengganggu soal moral. Kadang-kadang saya tak tahan dengan “Aku”. Ia bisa menjadi begitu liar, menyebalkan, penuh nyinyir, dan tidak terprediksi. Juga menderita. Tapi ada sesuatu yang memikat darinya. Mungkin karena, dalam beberapa hal, ia punya integritas dan begitu keras kepala dalam mempertahankannya. Untuk tidak mencuri, tidak meminta-minta… yang pada akhirnya toh ia lakukan juga. Rasa lapar membuatnya tidak bisa bertahan. Ia harus makan. Dan kebutuhan tersebut begitu mendesak sehingga ia harus mengubur moralitas dan idealismenya

Pada akhirnya, manusia bukan “makhluk gagasan” yang individualistis. Kita adalah bagian dari dunia. Dikendalikan oleh aturan-aturan dunia dan karenanya harus “berdansa” dengan dunia. Nggak bisa semaunya sendiri, bahkan dalam kebaikan. Kita nggak bisa berbuat baik hanya dengan gagasan untuk berbuat baik. Ini bukan surga dan nilai-nilai moral yang ada di kepala nggak akan terjadi begitu saja: akan ada tempaan. Bentuknya bisa apapun—salah satunya rasa lapar. Dan mungkin memang itulah yang membuat nilai moral menjadi bernilai dan pantas dikejar. Kebaikan nggak akan punya nilai tanpa godaan untuk berbuat jahat. Keinginan untuk jujur tidak akan punya nilai tanpa situasi-situasi berat dimana kebohongan bisa menghapuskan secuil penderitaan dengan mudah. Kesalehan nggak akan punya nilai tanpa bisikan-bisikan setan untuk membawa kita keluar jalur.

kategori: ulasan | karya |