Lewat “Harus Mau”, Imanez menunjukkan kalau lagu yang keren nggak perlu lirik-lirik puitis penuh metafor.
“Harus Mau”-nya Imanez dibuka dengan sebuah bait:
Dari dulu hingga sekarang, gua pengen elo jadi pacar gue
Satu lirik yang terasa begitu jujur. Lugas. Tanpa pretensi. Diiringi dengan musik yang terasa sederhana: beat yang konsisten dan simpel, gitar yang main sekadarnya, backing vokal yang muncul sekali-dua. Tapi—bersama liriknya—lagu ini langsung menikam.
Mendengar vokal Imanez, gua terpesona sekaligus pengen ketawa. Di benak gua cuma… “kok bisa ya ada orang bikin lirik seperti ini?” Nggak ada kata atau frasa puitis. Nggak ada metafor. Pendengar nggak perlu menerka-nerka maksudnya apa. Bait-bait di dalam “Harus Mau” begitu straightforward dan jadi berkesan karena jarang gua temukan di lagu-lagu yang gua suka.
Tapi, kenapa gua suka ya? Kenapa liriknya tidak terdengar norak? Entahlah. Yang jelas, sebuah lagu—sebagaimana dunia—adalah sistem dinamis. Lo nggak akan pernah bisa melepaskan lirik dari hal-hal di sekitarnya (konteks): beat drum, karakter vokal, liukan bass, genjrengan gitar, dan lainnya. Atensi gua sebagai pendengar juga membentuk persepsi gua terhadap lagu ini. Lewat atensi, gua “menghidupkan” bagian-bagian tertentu dari lagu dan “menenggelamkan” yang lain.
Gua rasa, itulah kenapa lirik di dalam “Harus Mau” jadi powerful. Setidaknya buat gua. Ia keren dalam konteksnya. Membaca lirik ini sebagai bait puisi akan melahirkan sensasi berbeda—mungkin beneran jadi norak. Tapi ketika dibalut musik dan dinyanyikan Imanez dan didengarkan gua dalam fase hidup yang sekarang, “gue pengen elo jadi pacar gue” seketika jadi magis.
Hanya ada tiga bait yang dinyanyikan berulang sepanjang lagu:
Dari dulu hingga sekarang
Gue pengen elo jadi pacar gue
Mestinya lo tahu, mestinya lo mau
Harus mau
Segala cara, segala-galanya
Gue lakukan untuk mendapatkan elo
Mestinya lo tahu, mestinya lo mau
Harus mau
Elo harus mau
Apapun yang terjadi
Elo harus mau
Apapun yang terjadi
Liriknya bener-bener telanjang. Bahkan nggak ada kata “cinta”. Yang ada cuma “gua pengen elo jadi pacar gue”. Hahaha. Nggak ada kesan menye-menye. Nggak ada persembunyian di dalam kata-kata puitis. Keinginan dan keputusasaan dan sedikit nyerempet pada pemaksaan (siapa coba yang mau merayu perempuan dengan “harus mau” dan “mestinya lo mau”?) dibalut jadi satu dan dinyanyikan Imanez dengan lirih dan percaya diri.
Lagu ini terasa penuh jukstaposisi. Pada satu momen gua mendengarkan orang yang percaya diri. Di momen lain gua mendengarkan orang yang hopeless. Pada satu momen gua mendengarkan laki-laki sinting yang tidak tahu diri. Pada momen lain gua mendengarkan semacam romantisme yang jujur. Mungkin inilah yang bikin “Harus Mau” jadi punya kesan kuat.
Penggunaan gue-elo dan frontalitas dalam lirik juga menarik untuk dilihat sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Entah apakah ada penelitiannya atau tidak. Akan tetapi, setahu gua penggunaan “gue-elo” (sepaket dengan lirik yang lugas) dalam musik mainstream dimulai pada awal 90-an lewat Slank dan rombongan musisi-musisi dari Potlot (salah satunya Imanez).
Entah seberapa berpengaruh inovasi mereka terhadap penulisan lirik musisi-musisi lain. Nyatanya, gua jarang mendengarkan musik mainstream pada 2000-an hingga sekarang yang menggunakan “gue-elo”. Akan tetapi, secara pribadi, inovasi mereka makin membuka cakrawala gua soal penulisan lagu. Mereka menunjukkan kalau lagu yang keren dan berkesan nggak perlu lirik yang puitis. Bahkan, mungkin lirik yang lugas dan “sehari-hari” memang diperlukan buat musik mereka.
Dan rasa-rasanya, Potlot pada era itu memang jadi semacam laboratorium musik (sekaligus bahasa) yang ambil bagian besar dalam membentuk pop culture buat anak-anak muda 90-an. Gua masih inget ceritanya Anda Perdana di sebuah podcast dengan Reynold ex-Slank. Ia bertutur soal suatu hari yang sepi di Potlot.
“Gua dateng kepagian gitu. Beli Rajawali, minum sendirian … nggak ada anak-anak, nggak ada satupun … tiba-tiba Bimbim keluar gitu, men, tiba-tiba dia nyanyi,” tuturnya. Dan lantas Bimbim memainkan entah-lagu-apa. Bikinin sendiri, seperti semacam lagu cinta buat perempuan. Bedanya, tentu, adalah penulisan lirik yang lugas dan bare. Anda masih ingat apa kata Bimbim: “gua bingung deh Nda sama orang-orang kadang suka bikin lagu yang bahasanya puitis gitu, kalo langsung-langsung gini kan keren ya.” Hahaha.
Mungkin lewat situasi pertongkrongan di Potlot itulah, lewat saling memperdengarkan lagu bikinan sendiri dan saling menangkap reaksi, lirik-lirik favorit gua menemukan tempat untuk lahir dan tumbuh.
P.S. : kalau tertarik soal kontekstualitas dan kenyataan sebagai hasil interaksi objek-subjek, elo bisa mencari gagasan Iain Mcgilchrist. Bisa mulai dari menonton wawancara-nya atau baca bukunya. Kebetulan, gua juga pernah membuat video tentang salah satu idenya soal atensi.