Cerita soal proses merekam lagu “Dian Sastro”-nya Pandora’s Dream.
Semester ini, Pandora akhirnya rekaman. Rencana sudah ada sejak semester lalu ketika Dabba menawarkan jasanya kepada gua. Soal kemampuan memproduseri tentu gua tidak ragu dengan dia. Masalahnya tinggal harga + kemauan Hendra dan Acop. Dan tanpa waktu lama, keduanya terselesaikan. Harga cocok. Hendra-Acop mau. Maka mulailah kita merekam di semester tujuh perkuliahan (dimulai bulan Oktober). Lagu yang direkam adalah “Dian Sastro”—kalau tidak salah ingat, gua menulisnya semester enam lalu dan pernah dimainkan live beberapa kali.
Ketika merekam “Dian Sastro”, gua tidak begitu masuk ke dalam musik. Programming dan program Bangkit banyak menyita perhatian. Gua juga mulai terobsesi dengan machine learning. Ada banyak potensi projek-projek kecil yang lahir di kepala. Akhirnya, laptop gua jadi lebih banyak dipakai untuk ngebuka VS Code ketimbang Ableton.
Gua tidak banyak berharap banyak juga soal lagu ini. Tentu bohong kalau bilang gua tidak pernah mengkhayal soal jadi rock star dan lagu ini laku atau semacamnya. Sisi-sisi semacam itu sangat ada di dalam diri. Tapi sisi-sisi lain yang lebih santai dan tidak banyak berharap juga ada—dan di dalam sisi inilah gua merasa paling nyaman dan berkecukupan.
Sesi 1 : Sabtu, 21 Oktober 2023
Sesi pertama diisi oleh rasa frustasi. Rencana awal adalah merekam drum + bass—berakhir dengan gagal total. Setiap me-record drum, suara super bising dengan frekuensi super tinggi ikut mengiringi. Dabba coba berbagai cara untuk menanggulangi: otak-atik software, atur mic, sampai gonta-ganti perintilan drum. Nggak banyak perubahan, bahkan setelah berjam-jam. Praktis 6 jam kami (pukul 1 siang hingga 7 malam) sebagian besarnya diisi oleh kegagalan. Setelah ngotak-ngatik drum tanpa hasil, diikuti pula oleh otak-atik demo tanpa hasil. Acop coba merekam bagian rhytm. Gagal total. Off tempo. Latihan sinkronisasi harmoni vokal juga belum begitu rapi.
Gua tidak asing dengan rasa frustasi ini karena sering merasakannya ketika merekam Sampah. Akan tetapi, perasaan frustasi yang kolektif terasa jauh lebih draining. Gua bisa melihat itu di muka anak-anak, mungkin terutama Dabba sebagai produsernya. Setelahnya, kami cuma makan dan ngobrol ngalor ngidul sampai pukul setengah 10 malam. Cukup menyenangkan setelah sesi merekam yang tidak berjalan baik.
Di sisi lain, sesi ini tidak sepenuhnya gagal. Ada beberapa revisi krusial yang sangat membantu yang dilakukan Dabba. Pertama, perubahan tempo jadi 120 BPM. Sebelumnya gua sarankan untuk ambil 112. Rupanya jadi lambat sekali. Di 120 BPM, energinya jadi lebih terasa dan pas. Kedua, penurunan kunci dari E ke C. Lewat Dabba, gua jadi sadar hal yang sebenarnya sangat simpel dan esensial (yang dengan begitu gobloknya tidak gua sadari): mengutak-atik tinggi-rendah nada untuk mengakomodasi vokal gua. Setelah ngambil di C, gua jadi bisa leluasa ambil nada tinggi dengan presence vokal yang lebih kuat.
Sesi 2 : Sabtu, 4 November 2023
Akhirnya, drum dan bass terekam di sesi ini. Gua, Acop dan Hendra sampai di rumah Dabba sekitar pukul setengah tiga. Telat satu setengah jam karena satu dan lain hal. Begitu datang, drum langsung direkam. Set sudah diubah. Nggak ada lagi suara “nging” yang menjemukan. Hendra hampir selalu on tempo, tetapi take-nya tetap makan waktu karena—selain memang butuh waktu terlepas dari on tempo atau tidak—berbagai perintilan seperti bentuk fill in dan lainnya.
Lalu istirahat sebentar dan kami merekam bass sehabis maghrib. Acop mengambil bass baru-nya. Bermain dan… kacau. Hahahaha. Masalah on tempo lagi-lagi datang. Krezi. Sepertinya makan waktu 3 sampai 4 jam hanya untuk nge-take bass. Hampir sama dengan drum. Gua terus memantau, memberi semangat sambil ikut tertawa bareng Dabba ketika menemukan kesalahan. Rasanya seperti melihat ospek—dengan korbannya adalah Acop.
Di satu sisi, kalau berandai jadi produser, gua tidak akan se-perfeksionis Dabba. Kesalahan-kesalahan Acop akan gua biarkan. Off tempo sepersekian detik: ya sudahlah. Sound bass kurang bulet: biarkan saja. Mungkin karena itulah gua nggak punya bakat jadi musisi, apalagi produser. Akan tetapi, gua bersyukur Dabba mau nge-push kita sejauh ini. Biar bagaimanapun, dia rasanya nggak punya tanggung jawab untuk jadi “perfeksionis”. Untuk capek-capek menghabiskan 3 jam ekstra (harusnya maghrib kita sudah kelar) mengurus soalan recording yang sebetulnya (kalau mau) bisa dia isi sendiri cuma dalam waktu 5 menit. Tapi dengan begini, kita jadi punya benchmark dan disadarkan kalau masih butuh banyak latihan.
Sesi 3 : Sabtu, 11 November 2023
Sesi terakhir. Dua jam pertama dihabiskan untuk merekam part ritem gitar gua. Lagi-lagi: main on tempo susah! Tetapi sepertinya gua tidak separah Acop. Lalu kita lanjut dengan take vokal. Ternyata nggak ada kesulitan berarti. Gua mesti berterima kasih banyak pada Dabba yang mengusulkan perubahan kunci sejak awal. Yah, tentu saja suara gua sama sekali tidak merdu. Tapi setidaknya pas nyanyi nggak terlalu off tempo dan off pitch. Yah, kalau sedikit-sedikit keluar kita tinggal berlindung di balik kalimat: “yang penting feel-nya dapet”.
Overall, sesi ini tidak punya kesulitan berarti. Acop merekam lead gitar dengan susah payah seperti biasa, tapi masih lancar-lancar saja. Merekam backing vokal pun ternyata tidak seribet itu. Yang paling gua ingat dari sesi ini justru kelegaan ketika semua akhirnya selesai—yang kita rayakan dengan makan-makan di sebuah food court pada malamnya.
Sisanya, tinggal menunggu Dabba melakukan mixing dan mastering.
Setelah “Dian Sastro” jadi, perasaan yang mendominasi di diri gua adalah tenang. Perasaan euforik tidak begitu terasa, apalagi mendominasi. Tidak ada bayangan dan ekspektasi juga soal bagaimana lagu ini akan diterima. Juga nggak ada kecewa. Nggak ada perasaan “andai begini, andai begitu”. Semuanya terasa sudah seperti seharusnya. Gua senang dengan hasil rekamannya dan merasa apa yang mau diekspresikan sudah diekspresikan. Tak ada lagi yang mengganjal. Pokoknya lega dan damai saja.