Pengalaman gua terpikat dengan Padi.
Padi tidak pernah benar-benar masuk dalam radar gua sebagai band yang mesti didengarkan. Kenapa begitu? Entahlah. Tentu gua pernah dengar secuil dari “Begitu Indah” dan “Simfoni” dan “Kasih tak Sampai”—lagu-lagu ini entah kenapa menerbitkan perasaan nostalgik ketika didengar, sepertinya pada suatu masa mereka pernah mampir ke telinga gua yang masih bocah.
Nggak ada ketertarikan untuk mengulik Padi, sebagaimana gua ngulik Dewa atau Slank atau The Beatles atau yang lain. Tak ada keinginan untuk mencoba mendengar lagu mereka secara penuh. Jangankan album, satu lagu pun tidak. Akan tetapi, gua lupa bagaimana ceritanya, seminggu yang lalu mereka mampir ke telinga lewat “Semua tak Sama”. Indah sekali! Gua terpukau.
Genjrengan akustik yang sederhana dibuka mengiringi lirih suara Fadli yang merdu sekali. Lalu alunan biola melengkapi sendu itu. Pendengar dapat tahu: ini lagu soal kehilangan. Lalu satu unit band muncul menggenapkan suasana, sebelum kemudian nada lirih itu berganti jadi emosi meledak-ledak. Vokal yang mengalun pelan berganti menebal, akustik sederhana berganti cabikan gitar penuh distorsi.
Ada suasana yang “gelap” dan “minor” yang begitu khas dalam banyak lagu-lagu Padi, setidaknya yang gua dengar di album Sesuatu yang Tertunda. Sulit untuk menjelaskannya. Dan vokalnya Fadly! Enak sekali.
Lirik-lirik dalam album ini berkutat soal cinta, dengan mudah pendengar menginterpretasinya sebagai soal hubungan romansa. Akan tetapi, gua suka sekali dengan penulisannya. Bait-baitnya indah. Peristiwa cinta sederhana seperti kerinduan atau kehilangan—yang dengan mudah dapat mengantarkan kita pada lirik yang monoton dan banal—dideskripsikan lewat pilihan kata yang puitis, tapi tidak berlebihan.
Sepotong bait favorit gua dalam “Semua Tak Sama”:
Coba tuk melawan
Getir yang terus kukecap
Meresap ke dalam relung sukmaku
Apalah arti hidupku ini
Memapahku dalam ketiadaan
Sgalanya luruh lemah tak bertumpu
Hanya bersandar pada dirimu
Penggunaan frasa “me(kecap) getir”, juga metafor “memapahku dalam ketiadaan” seketika membawa gua untuk mengimajinasikan lagu ini menjadi lebih besar dari sekadar kisah cinta romantis seorang laki-laki dan perempuan. Bukan cuma soal kehilangan orang yang berharga, tapi kehilangan makna dan alasan untuk menjalani hidup.
Sepotong bait favorit lain dalam “Lain Dunia”:
Kurasakan kuterlena di putihnya nuansa
Yang kau lukis dalam pesona diri
Sisi batinku sisi batinmu terpendam di alurnya
Tak ada tegur sapa antara kita
Media dunia membawa terbang tawa ceriamu
Beruraikan nada rasa
Terpendam dalam jiwa
Sekilas, intinya cuma soal perpisahan. Tapi ditulis dengan puitis sekali! Dan nggak maksa. “Elo udah pergi” diekspresikan lewat “media dunia membawa terbang tawa ceriamu // beruraikan nada rasa”. Duh, melankolis betul.
Pun ketika mau bilang kalau “kita sudah nggak saling menyapa lagi”, lagu dibuka dengan baris-baris metafor terlebih dahulu: “putihnya nuansa … kau lukis dalam pesona diri …” Sebelum dengan menohok begitu gamblang Fadli bernyanyi: “tak ada tegur sapa antara kita”.
Ya, kini bertambah satu lagi band keren yang gua tahu: Padi.