Blog oleh Hanif

Sahabat Kecil

Tentang teman-teman masa kecil.

Gua tidak punya banyak teman. Sejak SD sampai berkuliah, gua nggak pernah jadi anak populer yang punya kenalan dari angkatan bawah hingga atas. Hal ini bukan masalah juga, sih. Meski tidak banyak, saat ini gua merasa punya cukup teman sehingga tidak merasa kesepian. Atau, setidaknya kalau kesepian itu datang (biasanya tiba-tiba), gua tahu penyebabnya bukan karena gua tidak punya orang buat diajak ngobrol.

Dan mungkin karena jumlahnya sedikit, gua jadi lebih menghargai pertemanan yang gua punya. Gua selalu punya ingatan yang melekat di kepala tentang pengalaman berkesan dengan orang-orang tertentu: sejak sebelum TK hingga berkuliah sekarang. Bukan pengalaman yang bombastik. Sebagian besar justru yang sederhana saja: ngobrol sambil berteduh menunggu hujan reda, bermain bola di tengah lumpur, mencari kenari, dan lainnya.

Rasanya, “kedekatan” buat gua bukan soal intensitas komunikasi. Sekarang, gua sudah jarang sekali berkomunikasi dengan sebagian besar dari orang-orang yang gua anggap “dekat” di masa lalu. Beberapa sudah lost contact. Tapi mereka masih gua anggap “dekat”. Setidaknya pernah dekat, deh. Hahaha.

Salah satu yang akan selalu gua ingat adalah teman-teman kecil di rumah pertama (di daerah Pejanggik, Mataram). Gua tinggal di rumah ini hingga kelas 4 SD. Waktu itu, Papa membuka warnet dan sebagian pelanggannya adalah bocah-bocah panti asuhan seusia gua. Kebetulan, memang ada panti asuhan berjarak sekitar 200 meter dari rumah. Entah darimana mereka punya duit dan izin untuk nge-warnet. Dan entah bagaimana caranya (anak-anak kecil memang selalu punya cara-cara ajaib untuk saling kenal dan akrab) gua jadi akrab dengan beberapa di antara mereka.

Nama ketiga anak panti tersebut adalah Hadi, Ainul, dan Saep. Seingat gua, mereka bertiga bukan teman akrab. Jadi, arah pertemanannya bukan “empat sekawan”—tetapi lebih ke “gua berteman dengan Hadi”, “gua berteman dengan Ainul” dan “gua berteman dengan Saep”. Pada suatu masa, Ainul pernah begitu rutin datang ke rumah—bahkan pada jam-jam aneh seperti 10 malam.

Waktu kecil, gua tidak punya cukup kepekaan untuk mengerti perasaan mereka. Dan kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya jadi sedikit mengerti. Mungkin Ainul kesepian. Dan panti tidak bisa memberikan banyak hal. Makin lama, gua makin tahu betapa pentingnya keluarga dan teman dekat. Padahal, ia bercerita kalau ayah-ibunya masih ada. Entah apa yang membuatnya mesti tinggal di panti.

gua dan sahabat kecil

Gua, adik gua, Ainul dan Saep

Teman-teman yang lebih dekat lagi pada masa itu adalah anak-anak tetangga: Idi dan Samir. Kemudian ada dua sepupu yang tinggal di TK depan rumah: Rahadi dan Rian. Wah, ada lebih banyak cerita lagi soal mereka. Hahaha.

Duh, ada beberapa lagi sebenarnya. Para sepupu seharusnya masuk hitungan. Juga teman-teman TK dan SD yang pada suatu periode sering datang ke rumah. Serta teman-teman kecil lain: para pelanggan warnet, teman-temannya Arya, anak-anak dari temannya Mama Papa, hingga bocah yang datang dari antah berantah. Sebagian memberikan sekeping-dua keping kenangan, sebagian begitu banyak. Sebagian nama mereka, bahkan juga wajah, sudah terlupa.

Ada teman-teman yang punya sejarah panjang bertahun—seperti Idi atau Samir. Ada juga yang hanya bertemu sekali-dua kali, tetapi entah kenapa masih teringat hingga sekarang. Ingatan memang aneh. Gua juga seharusnya menceritakan dua orang terdekat yang waktu itu selalu jadi teman main: adik gua serta seorang sepupu bernama Arya. Kapan-kapan deh.

Anjrit, setelah menulis ini, jadi sadar kalau sepertinya teman gua nggak dikit-dikit amat. Hahaha.

Kini teman-teman kecil itu sudah pada menghilang. Kalau nggak lost contact, ya sudah tidak berkomunikasi lagi. Gua juga yakin, kalau kita bertemu, sudah akan banyak nggak nyambungnya. Meski tentu, kita masih bisa bercerita banyak soal pengalaman-pengalaman masa kecil.

Gua rasa memang begitulah yang namanya pertemanan. Keakraban selalu cair, berubah cepat. Dari yang dulunya bisa ngobrol panjang lebar, kini jadi sulit menemukan topik pembicaraan. Dari yang dulunya bisa nongkrong berjam-jam, kini sudah bingung mau ngapain dalam beberapa belas menit. Dari yang dulunya begitu menyenangkan, kini jadi penuh perasaan tidak nyaman. Yah, tidak apa-apa juga. Orang berubah.

Gua berubah.

Mungkin gua terlalu banyak berubah.

Dan kehidupan terus berlanjut, kadang terasa terlalu terburu-buru. Mengusung jarak antara gua dengan orang-orang yang dulunya akrab. Mengubah kami. Membuat satu sama lain jadi orang asing. Tapi orang-orang itu akan tetap jadi berharga. Ingatan gua terhadap mereka akan terus hidup. Semua manis dan pahit yang membentuk gua sekarang.

Mereka jadi penanda waktu—dan apa-apa yang kami lakukan pada masa kecil selalu jadi sumber kenangan yang bisa bikin tersenyum lebar.

Dan mungkin inilah cara paling baik untuk menghormati ikatan-ikatan manis di masa lalu: mengingatnya. Diabadikan. Dijadikan kenangan dan pelajaran. Lantas membiarkannya berlalu. Nggak dipaksakan untuk terulang kembali.

Dah!

kategori: personal |