Blog oleh Hanif

Belajar Menyampaikan dari Habib Ja'far

Sedikit refleksi tentang keluwesan Habib Ja’far dalam menyampaikan ilmu.

Tempo hari ketika sedang mengitari ruang buku di Perpusat, saya menemui buku karangan Habib Husein Ja’far dalam satu petak buku-buku keagamaan. Akhir-akhir ini, petak tersebut memang jadi tempat favorit: ada bacaan-bacaan soal Buddhisme dan sufisme yang belakangan bikin saya tertarik. Judul buku si Habib: “Seni Merayu Tuhan”. Aromanya sudah sufistik sejak dari judul dan memang benar adanya setelah saya baca sampai habis. Di dalamnya, ia bicara soal cinta, cinta dan cinta. Isinya kumpulan esai yang enteng buat dibaca, yang buat saya adalah bagian-bagian dari satu argumen panjang soal mengapa (hanya) Tuhan (yang) pantas dicintai.

Kita bisa bicara panjang soal cinta. Mungkin kapan-kapan kalau diberi kesempatan. Di tulisan ini, refleksinya adalah terhadap Habib Ja’far dan keluwesannya dalam berilmu.

Awalnya, saya bersinggungan dengan Habib Ja’far dalam konten dakwahnya dalam acara-acara komedi. Sepertinya saya sudah tahu bahwa ia pun penulis, tetapi rasanya belum begitu sadar. Jadi, saya “mengonsumsi” dirinya di awal-awal sebagai produk hiburan yang menyegarkan saja. Menarik melihat bagaimana seseorang berusaha berdakwah di tengah settingan acara-acara komedi.

Akan tetapi, wawancara mendalamnya bersama beberapa orang seperti Puthut EA atau Soleh Solihun pelan-pelan membuka sisi-sisinya yang lain. Kemudian baru saya sadari kalau ia adalah mahasiswa filsafat dan tafsir Al-Qur’an, kalau ia pengagum berat Emha Ainun Nadjib, kalau ia punya keresahan yang dalam soal problema keislaman di Indonesia hari-hari ini, juga kalau ia bisa menyelami Islam dalam spirit yang lebih filosofis. Kemudian, dalam percakapannya dengan Gita Wirjawan, dengan mendalam ia membahas posisi Islam dan sains, bagaimana keduanya bersinggungan dan bagaimana yang satu punya sesuatu yang tidak dipunyai yang lainnya. Ia juga bisa dengan dalam masuk membahas kekafiran dan atheisme.

Isi pikirannya soal hal-hal semacam ini tak ada saya lihat ketika sebelumnya menemukan Habib dalam acara-acara wawancara santai seperti Vindes atau Agak Laen. Di sana, ia lebih terasa seperti teman nongkrong yang menyenangkan, sambil sesekali menohok dengan pernyataan yang lucu dan ada benarnya.

Buat saya, kenyataan soal “dua wajah” Habib Ja’far—di acara komedi dan di acara “serius”—memberikan refleksi soal pemosisian diri. Ada kekaguman ketika melihat bagaimana seseorang mampu mengemas kedalaman pengetahuannya dengan begitu pas sehingga bisa diterima di berbagai segmen yang beragam. Diajak memikirkan yang ruwet-ruwet bisa. Diajak bercanda pun bisa. Dan dalam keduanya selalu ada kepingan-kepingan ilmu yang bisa diambil.

Saya rasa, menjadi luwes itu sama sekali tidak gampang. Pertama, ada persoalan empati. Sering saya merasa kalau upaya saya untuk menjelaskan sesuatu dilandasi oleh keinginan untuk memamerkan ilmu ketimbang membuat orang paham. Tidak ada empati atau usaha untuk mengerti lawan bicara: bagaimana pengetahuannya, bagaimana keadaan emosionalnya, dan seterusnya. Yang penting adalah bisa bicara supaya kelihatan pintar—terserah orang mau paham atau tidak.

Kedua, ada persoalan eksplanasi. Menjelaskan AI (Artificial Intelligence) ke programmer akan beda dengan menjelaskannya ke anak SD. Ada level abstraksi yang mesti diatur sedemikian rupa. Kalau dengan programmer, mungkin bisa pakai istilah teknis. Kalau dengan anak SD, penjelasannya dibatasi lewat analogi-analogi yang sederhana dan sehari-hari. Dan begitupun dengan topik lain: Islam, kalkulus, evolusi, dan lainnya. Maka dari itu, seseorang harus bisa dengan bijak menyeleksi perkataan dan mengatur tingkat detail dari penjelasannya sesuai lawan bicara. Dan ini tidak gampang.

Membaca buku Seni Merayu Tuhan juga mengekspos wajah baru dari Habib Ja’far kepada saya. Lewat buku ini, ia mampu menyajikan sufisme dengan begitu enak untuk dibaca. Contoh dan analogi yang dipakai sangat sehari-hari, dibarengi dengan penjelasan soal ayat-ayat Qur’an yang relevan. Di sisi lain, gagasan yang disampaikan begitu dalam, mengajak saya untuk merenung dengan panjang akan hidup saya.

Yah, jadi begitulah tentang Habib Ja’far. Buat saya, ia punya kedalaman pengetahuan yang tidak diobralkan dengan serampangan. Semuanya coba dilepaskan dalam porsi dan bentuk yang pas. Sebuah hal yang mesti saya pelajari dengan baik.

kategori: renungan | singkat |