Sebuah renungan saya atas pertanyaan “haruskah kita memikirkan Indonesia?”
Pandemi judi online. PHK massal. Dwifungsi TNI.
Itu tiga dari seabrek permasalahan negeri ini yang dengan vulgar dipertontonkan dan dibicarakan ramai-ramai di sosial media.
Masalah memang menarik orang banyak. Selalu begitu.
Dan hari-hari ini rasanya kita semua——mahasiswa, guru, tukang bakso, tukang cukur, PNS, dan segala macam kalangan tak peduli siapa——diajak berpikir. Berpikir soal bangsa ini: bagaimana masa depannya, apakah ia sedang sakit, ke arah mana ia mesti diarahkan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Di sosial media macam X, “aurat” dan “borok” dari siapa-siapa yang menjalankan negeri ini laris dicari dan dibahas secara keroyokan. Semua menyuarakan buah pikirannya. Tak peduli secara akademik atau sekadar gosip kacangan, pokoknya semua mesti dibahas: mulai dari urusan ranjang hingga negosiasi politik tingkat tinggi yang dijalankan tuan-puan yang terhormat di atas singgasana mereka, dibalik bilik-bilik mereka yang gelap dan tersembunyi.
Yang tak bersuara pun jadi gatal untuk bersuara. Minimal misuh, minimal ngeluh. Dan tidak ada yang salah dari mikir. Tak ada yang salah dari nulis. Tak ada yang salah dari ngomong. Namun ada yang mesti diperjelas: apakah kita——masyarakat biasa——harus melakukan semua itu?
Haruskah kita memikirkan Indonesia?
Ya, apakah memikirkan Indonesia adalah kewajiban? Apakah kita mesti memasukkan seabrek masalah negeri ini ke dalam otak dan mencoba mengubek-ubek sisa kecerdasan yang kita punya (yang sejak pagi sampai sore sudah habis dikuras oleh tetek-bengek pekerjaan) untuk mengeluarkan solusi?
Saya pikir tidak.
Kita tidak punya tanggung jawab apa-apa. Kan sudah ada ada orang-orang yang menawarkan diri dan akhirnya terpilih untuk mewakili kepentingan kita: para anggota DPR serta presiden dan wakil presiden yang dibantu menteri-menteri beserta jajaran birokrasi di bawahnya. Mereka akan membuat hukum dan menjalankannya sesuai kepentingan masyarakat. Supaya sejahtera dan bisa kerja dengan baik, kita sisihkan harta kita dengan mekanisme pajak untuk membiayai kebutuhan hidup mereka.
Dilihat dari sudut ini, rakyat adalah bos dan pejabat publik adalah pelayan yang berkewajiban untuk melayani dengan sebaik mungkin. Sementara itu, kewajiban dan tanggung jawab si bos sudah selesai dengan memberi gaji (atau: membayar pajak).
Saya ingat kata-kata Mbah Nun, bahwa yang masyarakat biasa lakukan ketika memikirkan Indonesia adalah sebentuk sedekah. Jika tidak dilakukan tidak berdosa, jika dilakukan dapat pahala. Jadi tidak usah galau, tidak perlu merasa bersalah kalau bingung dan tidak punya solusi terhadap gonjang-ganjing di negara ini.
Lantas, kita masuk ke pertanyaan kedua: apakah kita perlu memikirkan Indonesia; suka tidak suka, mau tidak mau, demi keselamatan sendiri dan orang-orang terdekat?
Saya pikir iya, sesuai kemampuan masing-masing.
Tidak wajib kita baca buku sampai berpuluh-puluh, scrolling ratusan twit-twit yang mengkritik rezim, nontonin YouTube soal huru-hara di DPR, lalu bermeditasi merenungi segalanya sampai belasan jam untuk mendistilasi secangkir ide brilian demi perbaikan Indonesia. Tidak wajib bagi kita berpikir keras sampai urat-urat dahi merengut soal pengentasan kemiskinan, bonus demografi, keaslian ijazah Bapak Joko Widodo, bahaya dwifungsi ABRI, dan lainnya. Kalau mau silahkan; hanya jangan lupakan kucing-kucing yang belum dikasih makan, lantai yang belum disapu, dan tanam-tanaman berbunga yang belum disiram.
Tapi ya, memikirkan Indonesia rasanya perlu dan bermanfaat. Minimal, kalau berkesimpulan negara ini tidak baik-baik saja, kita bisa menyiapkan bekal-bekal dan kiat-kiat bertahan demi keselamatan diri dan keluarga. Kita tidak wajib menyumbang solusi dan kekhawatiran akut soal masa depan negara ini. Saya tidak ingin terbebani pada sesuatu yang tidak harus menjadi beban. Tetapi minimal kita tahu situasi dan dari sana bisa mengantisipasi demi kebaikan diri sendiri. Kalau diri sendiri sudah cukup baik, syukur-syukur tenaga dan pikiran bisa disumbang untuk memperbaiki keluarga. Kalau keluarga sudah cukup baik, syukur-syukur tenaga dan pikiran bisa disumbang untuk memperbaiki RT atau tempat kerja atau komunitas. Kalau komunitas sudah cukup baik, syukur-syukur tenaga dan pikir bisa disumbang untuk kemajuan kota. Dan syukur-syukur yang lain, sampai seterusnya…
Seni memikirkan Indonesia
Saya sendiri belum menemukan “titik keseimbangan” yang pas untuk berinteraksi dengan Indonesia. Saya tidak tahu batas-batas kemampuan saya. Dari kecil saya dididik untuk memikirkan Indonesia dalam skala yang paling makro: bangsa Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, budaya Indonesia, persatuan Indonesia, kemajuan Indonesia, politik Indonesia. Jarang sekali sekolah mengajari saya melihat Indonesia dalam wujudnya yang kecil dan konkret: terkait kehidupan bertetangga, persahabatan dengan teman, atau pembangunan jalan di depan rumah.
Sejak remaja saya bergulat dengan ide-ide besar: masa depan ekonomi Indonesia, federalisme vs kesatuan, benturan Islam dan ideologi lain, komunisme dan tinta merahnya di sini, tidak berjalannya trias politica, demokrasi, dan seterusnya, dan seterusnya.
Tapi satu suara kecil berbisik: “memangnya kamu bisa apa?”
Di satu sisi, saya percaya bahwa bergulat dengan ide-ide dan sejarah masa lalu adalah bagian dari “perang jangka panjang” yang memang tidak akan membantu saya memenangi “pertarungan-pertarungan kecil”. Membaca sejarah masuknya Islam ke Indonesia tidak akan berdampak pada kemampuan saya memeroleh makan siang hari ini. Akan tetapi, ia bisa menghaluskan rasa, menajamkan akal, meluaskan syukur. Ia mengukir akal budi dan itu penting untuk menghayati kemanusiaan kita——asalkan kamu bukan pemuja materialisme murni yang memampatkan hidup hanya pada makan, seks, dan apa-apa yang nikmat. Lebih dari itu, membaca sejarah (dan perilaku orang-orang di dalam sejarah) menyediakan negative advice berlimpah (panduan tentang apa-apa yang sebaiknya tidak dilakukan) serta kesadaran akan batas-batas pengetahuan yang kita miliki——aspek menarik yang akan saya bahas di tulisan terpisah.
Di sisi lain, saya sadar apabila pengetahuan-pengetahuan tersebut sangat bisa menjadi tidak relevan. Mereka bisa menjadi sekadar deretan fakta dan opini dan cerita yang bagus buat bahan ngobrol, nge-twit atau nge-_story_. Tapi ya sudah; berhenti di situ. Tidak kemana-mana lagi. Tidak menambah makna dalam hidup. Tidak menambah perkakas untuk bertindak. Tidak menambah apa-apa kecuali bahan cerita. Atau yang lebih buruk dari irelevansi: pengetahuan yang misleading. Pengetahuan yang sebetulnya cuma sampah dan spekulasi dibalut istilah-istilah ilmiah.
Maka saya percaya kalau setiap ide-ide besar butuh penyaringan. Butuh perenungan. Butuh “dikunyah”. Juga butuh disentuhkan dengan realita posisi dan pengalaman kita sebagai individu, sebagai bagian dari keluarga, sebagai bagian dari lingkungan kerja, dan sebagai bagian-bagian yang lain. Intinya, kita mesti bertanya: dengan segala pengetahuan kita soal negeri ini (politiknya, hukumnya, ide-ide besar tentangnya), apa tindakan yang bisa kita lakukan secara nyata untuk memperbaiki hidup kita dan orang-orang di sekitar? Atau sebaliknya: untuk memperbaiki kehidupan kita dan orang-orang di sekitar, pengetahuan apa yang kiranya berguna (apakah mengetahui politik dan tetek-bengek pemerintahan negeri ini termasuk di dalamnya)?
Jika pertanyaan ini bisa dijawab (dalam perenungan yang serius dan berakar pada kenyataan), barulah ia bisa berguna, bisa mengasah akal budi. Tentu jawabannya bisa berbeda-beda bagi setiap kita. Yang jelas, kalau tidak dijawab… takutnya, mentok-mentok saya hanya akan menjadikan pengetahuan soal negeri ini sebagai bahan masturbasi intelektual :)
Begitulah kira-kira maksud saya soal belum menemukan titik seimbang. Saat ini, saya belum cakap mempersentuhkan Indonesia yang kompleks bersama ide-ide besar yang menyertainya dengan realita kehidupan saya dalam berbagai tingkat dan konstelasinya.
Walau tentu tidak sepenuhnya tidak cakap. Sedikit-sedikit saya punya jawaban untuk diri sendiri. Sedikit-sedikit apa yang saya tahu tentang negeri ini menyediakan panduan untuk bersikap. Sedikit-sedikit saya mulai menemukan “ruang bertindak” yang pas dengan pengetahuan yang saya punya. Sedikit-sedikit saya menemukan ketenangan untuk diri sendiri.
Tidak sempurna, memang. Tapi kita mesti terus bergerak. Saya percaya hidup ini patut dijalani selayaknya bersepeda; walaupun lambat dan tidak sempurna, sepeda mesti terus dikayuh. Kita mesti bergerak, walau kadang arahnya tak begitu jelas. Kalau tidak, kita akan kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Sekelumit jawaban
Sejarah tidak berjalan, ia melompat. Krisis tidak muncul dalam tahap demi tahap yang inkremental, konstan, terprediksi. Tidak ada yang pasti. Tidak ada yang stabil. Maka sudahlah: saya tidak ingin berharap banyak pada negara ini. Besok mungkin ekonomi akan kolaps. Lusa politik kacau balau. Minggu depan panasnya geopolitik dunia menghimpit kita.
Ya, tidak ada yang pasti.
Saya punya banyak ide soal cara mengelola negara ini. Kasih saja kopi, meja, dan seorang teman yang asyik; niscaya berjam-jam bisa dihabiskan untuk menguliti Indonesia. Akan tetapi, sudahlah: sebelum repot bicara soal yang besar-besar, mari mengurus diri sendiri dahulu.
Mari bertanya: di tengah ketidakpastian, apa yang bisa dilakukan?
Pertama-tama, saya ingin melupakan soal kehebatan diri. Memangnya apa yang bisa saya jamin untuk diri sendiri? Tanah saya bisa dirampas. Tabungan saya bisa hilang. Kebebasan saya bisa dikekang. Badan saya bisa digerogoti sakit dalam semalam.
Maka jawaban pertama saya terhadap Indonesia adalah untuk menjadi lebih besar dari Indonesia. Kalau pemerintah bagus, kita tetap kerja keras menjalani-mensyukuri-menyabari hidup. Kalau pemerintah jelek, kita tetap kerja keras menjalani-mensyukuri-menyabari hidup. Kalau ekonomi kolaps, kita tetap kerja keras menjalani-mensyukuri-menyabari hidup. Kalau ekonomi bagus, kita tetap kerja keras menjalani-mensyukuri-menyabari hidup.
Kondisi negara (atau lebih luas lagi: kondisi dunia) tak perlu mendikte kadar kebahagiaan, etos bersyukur + bersabar, semangat berbuat baik, dan kecintaan terhadap hidup yang menyala di dalam hati.
Sehingga kita jadi lebih besar dari sakit dan sehat, dari bahagia dan derita, dari bebas dan terkekang, dari kaya dan miskin, dari waras dan gila, dari senang dan susah, dari harapan dan putus asa, dari hidup dan mati. Kalau mati tidak menghadirkan takut dan hidup tidak menerbitkan risau, apa lagi yang bisa mengganggu? Kalau sakit tidak memadamkan sabar dan sehat tidak menghanguskan syukur, apa lagi yang bisa mengganggu?
Tentu ini adalah kerja seumur hidup. Sampai mati juga tak akan selesai, tak akan sempurna. Tapi saya pikir ini cara hidup yang terhormat. Tidak perlu sampai, menjalani saja sudah cukup. Dan selagi menjalani, supaya tak bosan bolehlah kita sambilan menganalisa makroekonomi negara, menulis kritik-kritik panjang terhadap rezim, menabung emas untuk masa depan, membaca sejarah kejatuhan peradaban-peradaban mapan, dan memikirkan solusi dari benang kusut kebobrokan negeri tercinta.
Jangan biarkan lumpur-lumpur dunia menelanmu. Jangan biarkan drama-drama yang dimainkan tuan-puan di singgsana mereka yang terhormat itu mengganggu tidurmu. Tidak. Kita lebih besar dari ini semua. Kita lebih besar dari sekadar dunia.