Refleksi saya terhadap nasihat Gus Baha mengenai shalat.
Salah satu kalimat Gus Baha yang paling menyentuh saya adalah soal shalat. Diucapkannya dalam salah satu sesi ngaji:
“Setelah shalat subuh, di hati saya ya saya hidup menunggu waktunya shalat zuhur. Setelah shalat zuhur, di hati saya menunggu shalat asar. Saya tidak pernah menunggu kaya atau mapan atau dihormati orang. Dan jika kamu bisa begitu, berarti 24 jam kamu dianggap shalat oleh Allah Swt.”
Ajaran yang sederhana tetapi punya kedalaman yang luar biasa. Lewat mindset semacam ini, shalat dijadikan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup. Setiap kegiatan keseharian dipusatkan, dikembalikan, pada shalat.
Ada banyak cara untuk “membedah” ucapan Gus Baha. Dilihat dari sisi psikologis, terjadi simplifikasi terhadap hidup. Kegiatan seseorang hanya dibagi ke dalam dua kategori: shalat dan menunggu shalat. Sederhana sekali. Dan tak heran ketenangan jiwa akan datang ketika secara “ajaib” semua keruwetan hidup tereduksi dalam dua kategori semata.
Akan tetapi, saya pikir ajaran “berpusat pada shalat” bukan sekadar upaya untuk menggapai ketenangan psikis. Memang, kita begitu terserap dalam materialisme sampai-sampai sesuatu yang transenden macam spiritualisme pun direduksi dalam kerangka kebendaan dan utilitarian. Akibatnya, makna suatu hal hanya dilihat dari sejauh mana ia meningkatkan produktifitas kerja, memperbaiki mood atau memberi “rasa enak”. Semua hal dipusatkan untuk memuaskan “aku”: individu yang terperangkap dalam otak dan tubuhnya, terkendali oleh hukum alam.
Padahal, sesungguhnya ada cahaya yang lebih sejati dibalik timbunan—meminjam istilah Cak Nun—“ampas-ampas materialisme”. Dan salah satu “berkas cahaya” yang bisa kita pakai untuk menyingkap kedalaman makna “berpusat pada shalat” adalah konsep tauhid. Akarnya adalah iman akan keberadaan Tuhan yang Tunggal. Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tidak ada setitik pun sesuatu di alam raya lepas dari kuasa dan kasih-Nya—termasuk kita. Maka melalui tauhid kemudian lahir kesadaran bahwa status kita yang paling mendasar adalah sebagai hamba.
Nah, shalat adalah ekspresi dari kehambaan tersebut. Sebuah cara untuk menghamba yang dihadiahkan Tuhan melalui ajaran Islam. Kemudian dijelaskan Gus Baha lebih lanjut:
“Semua persiapan kita demi shalat … jadi semua orientasi hidup kita, bahkan kita makan saja itu demi menenangkan shalat. Berarti kamu menjadikan shalat sebagai tujuan tertinggi, meskipun ketika shalat kamu mungkin biasa-biasa saja. Tetapi 24 jam otakmu berkecamuk tentang (shalat).”
Dengan cermat kita bisa melihat jika Gus Baha tidak terfokus dalam konteks ritualistik. Tidak ditekankan kalau shalat harus khusuk, bahkan tidak apa-apa jika shalatnya “biasa-biasa saja”. Yang terpenting adalah menjadikan shalat sebagai pusat keseharian. Artinya, apapun dilihat lewat “kacamata shalat”. Minimal, kegiatan apapun yang non-shalat dilakukan dalam rangka mengisi waktu menunggu shalat.
Implikasinya, kerangkeng materialisme juga dihancurkan. Tidak ada ruang untuk menunggu jabatan, menunggu kaya atau menunggu pasangan cantik. Apapun yang bersifat material berubah menjadi spiritual. Misalnya, bekerja yang dulunya berstatus sebagai upaya untuk kaya kini berubah menjadi (minimal) pengisi waktu luang sebelum shalat. Semua tunduk dalam shalat.
Di tengah-tengah semangat zaman yang makin mendorong kita pada pemenuhan kepuasan material yang tidak ada habisnya, nasihat Gus Baha menjadi oase. Melalui “berpusat pada shalat”, kita diajak untuk melampaui narasi keduniaan yang merongrong. Kemudian menjadikan shalat sebagai “pasak” untuk menghayati status kehambaan, dalam perjalanan menuju yang sejati.
Begitulah, kira-kira. Semoga shalat kita mengantar pada keselamatan.