Blog oleh Hanif

Gus Baha dan Robustness

Bagaimana nasihat Gus Baha untuk memusatkan hidup pada shalat menjadi resep mujarab untuk mengobati fragility.

Seminggu terakhir membaca Antifragile-nya Nassim Taleb, salah satu hal yang terus bermunculan di pikiran adalah nasihat Gus Baha tentang shalat. Triad fragile-robust-antifragile memang menggelitik untuk melihat berbagai macam cara hidup orang: di bagian manakah mereka termasuk?

Menjadi fragile alias fragilistas berarti menjadi Turkey: basically, pembenci volatility. Berikan randomness, extreme event dan mereka akan hancur berkeping-keping.

Contoh: Joni putus dengan pacarnya. Extreme event——tak terprediksi olehnya. Hasilnya: Joni yang bitter, depressive, menangis tidak berhenti.

Sisi berlawanan dari “Joni menyedihkan” ini adalah Joni yang berhasil move on. Dimana ketika move on, Joni justru jadi manusia yang lebih baik. Ia jadi tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri, lebih baik dalam menerima penolakan dan lebih bijak dalam menjalin hubungan romantik.

Dalam kasus “Joni menyedihkan”, Joni bersifat fragile. Soalnya, kejadian ekstrem dalam bentuk putus cinta membuatnya jadi lebih buruk dari sebelumnya. Sementara itu, “Joni move on” bersifat antifragile. Soalnya, kasus ekstrem yang sama justru membuat dia jadi lebih baik.

“Joni menyedihkan” adalah fragile. “Joni move on” adalah anti-fragile.

Lantas, bagaimana dengan robust?

Joni yang robust akan terjadi jika Joni putus dengan pacarnya tanpa merasakan apapun: tidak sedih, tidak senang. Robust. Di hadapan extreme event, ia tidak bergeming.


Di dunia modern——dalam aspek sosial, ekonomi, politik——yang penuh dengan kejadian ekstrem alias Black Swan alias fat tail, kamu tidak ingin menjadi fragilistas. Dan menyelami nasihat Gus Baha tentang shalat, saya mulai mengapresiasi bagaimana cara hidup “berpusat pada shalat” yang diajarkannya dapat mengubah seseorang dari fragilistas menjadi robust, bahkan antifragile.

Mengapa bisa?

Coba simak baik-baik ucapan Gus Baha:

“Saya setelah salat subuh, di hati saya ya saya hidup menunggu waktunya salat zuhur. Setelah salat zuhur, di hati saya menunggu salat asar. Saya tidak pernah menunggu kaya atau mapan. Atau dihormati orang. Dan jika kamu bisa begitu, berarti 24 jam kamu dianggap salat oleh Allah.”

Jelas, di dalamnya kita temukan robustness. Apapun yang terjadi, yang penting hanya shalat. Mau miskin kek, kaya kek, patah tulang kek, sariawan kek, putus dengan pacar kek: tidak penting. Yang penting, saudara-saudara, adalah shalat. Dan selama masih hidup (+ tidak gila), manusia bisa shalat. Tidak bisa berdiri, maka duduk. Tidak bisa duduk, maka berbaring. Dan seterusnya sampai penggunaan isyarat.

Bahkan robustness bisa naik tingkat lagi jadi antifragile, ketika extreme event justru membuat shalat makin khusuk. Kesedihan, kegelisahan, dan rasa sakit tidak lain hanya diperlakukan sebagai tambahan “bahan obrolan” yang intim dengan Tuhan.

Maka, sah sudah kita katakan bahwa memusatkan hidup pada shalat adalah resep mujarab untuk mengantarkan seseorang dari spesimen fragilistas menuju robust/antifragile. Dari barang pecah-belah menuju kucing dengan nyawa tujuh. Sederhana, mudah, semua orang bisa melakukan. Tidak perlu memperkaya diri dengan saham, tidak perlu memelajari 101 cara berpikir positif, tidak perlu memanjati tangga karir korporat yang panjang dan terjal. Alih-alih, yang perlu dilakukan hanya (memusatkan hidup pada) shalat.

Resep kuno yang ampuh dan mudah dengan praktik yang susahnya setengah mati.

kategori: renungan | singkat |