Blog oleh Hanif

Menjadi Palgunadi

Ribuan tahun lalu, Mahabharata menyuguhkan kisah epik soal pembelajaran otodidak lewat kehidupan Palgunadi. Lantas, dengan meledaknya informasi seperti sekarang, bisakah “Palgunadi-palgunadi” baru terlahir?

Gua punya hubungan yang agak lucu dengan kisah Mahabharata. Sampai sekarang, gua tidak pernah membacanya secara utuh. Paling dekat, gua cuma membaca penceritaannya dalam beberapa jilid komik tebal karangan R. A. Kosasih. Gua suka sekali dengan karya Pak Kosasih tersebut, dari segi visual maupun penceritaan. Waktu itu, komiknya gua dapatkan di perpustakaan SMA. Dalam beberapa jilid tersebut, nggak ada perang. Cerita baru berputar di sekitar masa kecil Pandawa dan Kurawa saja.

Di sisi lain, gua selalu merasa punya kedekatan dengan Mahabharata. Sebabnya, kisah-kisah di dalamnya seringkali berserakan dalam karya-karya favorit gua—kadang sekadar jadi tempelan manis yang muncul sekejap, kadang jadi inspirasi yang melekat kuat. Salah satu album musik favorit gue berjudul “Pandawa Lima”. Referensi terhadap epik Mahabharata juga muncul dengan berkesan dalam dua novel favorit gua: Burung-Burung Manyar dan Amba. Kadang-kadang, ketika berselancar di internet, gua juga menemukan video-video keren dari Sujiwo Tejo yang mengisahkan potongan dari Mahabharata lewat aksi pewayangan. Krishna, salah satu tokoh utama di Mahabharata, sangat suka gua tonton film animasinya ketika kecil (meskipun penceritaan di film tadi sepertinya terpisah dari cerita Mahabharata sendiri). Dan seterusnya, dan seterusnya…

Dan dari semua kepingan-kepingan kisah dalam epik ini, salah satu yang sampai saat ini masih meninggalkan kesan kuat adalah tokoh bernama Palgunadi atau Ekalavya. Sepertinya di Indonesia nama yang lebih lazim digunakan adalah Palgunadi—tetapi nama Ekalavya terdengar lebih keren. Hahaha. Kalau nggak salah ingat, pertemuan pertama gua dengan tokoh ini ada di Burung-Burung Manyar. Gua lupa dalam konteks apa Palgunadi diceritakan di situ. Sepertinya ia diceritakan karena jadi tokoh pewayangan favorit dari tokoh utama di sana (seorang laki-laki serdadu NICA yang gua lupa namanya).

Dalam Mahabharata, Palgunadi adalah tokoh minor, tetapi sepenggal hidupnya menyimpan kesan kuat. Ia dikisahkan sebagai seorang pangeran muda yang ingin belajar ilmu memanah. Untuk itu, ia mendatangi seorang bernama Drona, memohon untuk menjadi guru memanahnya. Akan tetapi, kedatangan itu berbuah penolakan. Drona sudah “punya kontrak” dengan para Pandawa—selain kelima Pandawa, nggak ada lagi yang bisa jadi muridnya.

Lantas, apa yang dilakukan Palgunadi? Ia kemudian belajar dengan otodidak. Akan tetapi—ini yang menurut gua unik—in a way ia tetap menjadikan Drona sebagai gurunya. Dari kejauhan, Palgunadi tetap memerhatikan Drona secara diam-diam. Kemudian, ia menciptakan patung Drona di tengah hutan dan mulai berlatih memanah dengan tekun di depannya. Ibaratnya, Palgunadi punya “guru virtual” yang ia bayangkan lewat patung Drona. Hasilnya, sebagaimana dikisahkan dalam Mahabharata, Palgunadi menjadi pemanah terhebat di masanya. Bahkan mengalahkan Arjuna, bagian dari Pandawa, yang menjadi murid memanah langsung dari Drona.

Pada akhirnya, kisah Palgunadi ditutup dengan sebuah tragedi. Melihat ada pemanah dengan kemampuan melebihinya, Arjuna terbakar cemburu. Ia kemudian mendekati Drona, mengingatkannya tentang janji gurunya untuk menjadikannya pemanah terhebat di dunia. Ia meminta Drona untuk bertindak terhadap Palgunadi, mencegahnya melampaui Arjuna. Drona, terikat oleh janjinya, pergi menemui Palgunadi di hutan. Suatu pertemuan yang disambut Palgunadi dengan penuh hormat. Akan tetapi, ini adalah pertemuan untuk Drona menagih dakshina terhadap Palgunadi : sebuah pemberian kepada guru sebagai balasan atas ilmu yang diajarkan.

Dan pemberian yang diinginkan Drona adalah jempol kanan milik Palgunadi. Palgunadi, menunjukkan kesetiaannya, tanpa ragu dan dengan rela hati menyetujui permintaan itu. Dengan mengorbankan jempol kanannya, Palgunadi memastikan bahwa Arjuna tetap menjadi pemanah terhebat.


Ada banyak sisi yang bisa digali dari kisah Palgunadi, salah satunya adalah soal “otodidak”. Kebetulan, beberapa hari yang lalu, gua diingatkan kembali dengan aspek ini melalui omongan Pak Budi Rahardjo. Ia bercerita soal bagaimana internet dapat melahirkan Palgunadi-palgunadi baru: orang-orang yang menjadi ahli lewat “guru-guru virtual”.

Rasa-rasanya benar. Internet merevolusi akses pengetahuan. Kini, semua orang bisa menjadi Palgunadi dan menemukan Drona-nya. Lebih baik lagi, kita dapat menemukan “Drona tanpa Arjuna”—yang dengan sukarela memberikan ilmunya tanpa meminta dakshina kepada kita. Jadi, kita tidak perlu lagi menjadi Palgunadi yang belajar dengan sembunyi-sembunyi. Keluasan ilmu yang luar biasa telah dibuka aksesnya dengan cuma-cuma.

Tentu, internet juga punya sisi hitam. Nyatanya, sejak akses informasi yang terbuka lebar, tidak semua orang berhasil menjadi Palgunadi. Bahkan, mungkin sedikit sekali orang yang berhasil (atau mungkin: ingin) menjadi Palgunadi. Internet juga melahirkan distraksi dan adiksi lewat sosial media, pornografi, informasi-informasi sampah, dan seterusnya. Belum lagi dengan “ilmu abal-abal” dari “Drona-drona palsu” dalam segala macam variannya: mulai dari cara cepat kaya hingga teori-teori busuk yang dibungkus dengan kata sains atau agama.

Di satu sisi, mudah sekali untuk menjadi Palgunadi. Di sisi lain, sulit sekali untuk menjadi Palgunadi. Akan tetapi, kesempatan itu ada. Sumber daya itu ada. Waktu itu ada. Tinggal masalah kita-nya saja.

P.S. : sepertinya akan menarik kalau nanti bahas tentang tips-tips belajar otodidak lewat internet—soal nyari sumber, ngatur waktu, mem-filter infomrasi, dan lainnya—, mungkin akan dituliskan nanti.

kategori: renungan | singkat |