Renungan singkat setelah (kembali) membaca esai-esai Cak Nun.
Setelah SMA, hari ini saya kembali menemui Cak Nun dalam sebuah periode ketika urusan-urusan dunia begitu menerbitkan resah. Terkulminasi dalam pertanyaan-pertanyaan soal: bagaimana nanti dapat pekerjaan? Dan kalau sudah dapat: bagaimana nanti punya pekerjaan tetap? Dan kalau sudah tetap: bagaimana punya jenjang karir yang konsisten dan aman? Dan kalau sudah berkarir: bagaimana punya simpanan yang cukup supaya hidup aman sampai delapan puluh tahun? Dan seterusnya, dan seterusnya, tak ada henti…
Tentu ini bukan satu-satu-nya keresahan. Ia juga bercampur dalam kerinduan untuk bisa lepas dari semua keresahan itu dan kembali. Untuk lepas dari “roda-roda” yang menunggu untuk giliran kapan di atas–kapan di bawah. Untuk lepas dan hidup hanya sebagai “kerikil-kerikil” yang tenang, insignifikan dan statis.
Di dalam diri saya, ada hasrat ber-progress yang berkelahi dengan hasrat untuk berdamai. Ia mewujud dalam jam-jam yang dihabiskan untuk merancang trajektori karir 5 tahun ke depan bergantian dengan renungan panjang di kamar gelap mempertanyakan “buat apa semua perencanaan ini?” Saya ingin bergerak, cepat, sigap, lari sprint kalau perlu. Di saat yang sama, saya juga ingin diam, duduk, menutup mata dan menikmati sang nafas yang tarik-ulur dengan begitu ritmis dan berirama. Bagaimana mendamaikan keduanya?
Entahlah…
Tapi membaca Cak Nun membantu saya untuk membaca pergolakan melelahkan yang ada di dalam diri saya sendiri. Esai-esainya—yang dengan lembut dan agak seenaknya membawa saya ngalor-ngidul ke alam-alam pikir yang indah tak terduga tanpa menyediakan aliran kalimat yang teratur dan sarat struktur—memberikan “teropong”, “mikroskop” dan “kacamata” untuk meneliti keadaan di dalam diri saya sendiri. Sebuah keadaan yang berisi pertanyaan-pertanyaan soal “mau jadi apa”, “mau berkontribusi apa”, “buat apa saya di sini”. Dengan baik hati ia memberikan alat-alat tadi supaya saya tidak cuma bisa melihat dedaunan, tapi juga pepohonan. Tidak cuma pepohonan, tapi juga hutan. Supaya saya tidak terlalu gelisah. Juga supaya saya tidak terlalu merasa tinggi hati.
Dan semua ini terjadi mungkin karena saya merasakan gejolak yang sama ada di dalam diri Cak Nun. Melihat Cak Nun membantu saya melihat diri sendiri. Tentu, saya tidak menaruh diri saya ada di tingkatan yang sama dengan dia. Ia adalah pohon kayu tua—besar, kukuh dan rimbun. Dan saya hanya berusaha jadi tunas kecil yang baik dengan menyerap sebisanya titik-titik air yang ia berikan lewat akar-akarnya yang kuat dan panjang menerobos seisi tanah. Tapi bisa saya rasakan penderitaan yang sama dalam dirinya. Ia menulis soal kepasrahan akan hidupnya sendiri—bagaimana ia serahkan dengan penuh cinta semua perjalanan hidupnya pada Yang Maha Pemelihara. Bagaimana semua yang ia berikan hanya titipan dari Yang Maha Mengetahui. Di sisi yang lain, saya rasakan pula kepedihannya yang sangat akan situasi masa sekarang. Tentu, kita jauh beda. Saya pedih dengan diri sendiri: karir, pekerjaan, uang. Ia pedih dengan Indonesia. Ia jabarkan kegelisahannya akan rakyat-rakyatnya: para kerikil yang tak bisa tenang karena terus tergilas sisi-sisi roda yang berebut untuk “naik” dan tak mau “turun”.
Saya rasakan ia ingin bergerak—atau lebih tepatnya: ingin ada pergerakan ke arah yang lebih baik—sembari juga memberi pengertian kalau semuanya telah tunduk pada aturan Yang Maha Menggerakkan, Yang Maha Penyayang. Sehingga rasanya hidup ini terlalu indah dan berharga—tak pantas untuk dihabiskan demi bergerak pada “kemajuan”, “kekayaan”, dan “kebesaran” yang penuh sementara. Sehingga rasanya approach yang paling patut adalah untuk berjalan dalam suatu kepasrahan yang haru.
Maka, bagaimana mendamaikan keduanya? Untuk bergerak dan diam di saat yang sama. Untuk gelisah dan tenang di saat yang sama. Untuk pasrah dan berencana di saat yang sama? Saya percaya, jawabannya tidak ada dalam kalimat-kalimat yang saya tuliskan di sini atau di manapun. Saya percaya, jawabannya ada dalam usaha dan harap yang terus-menerus untuk mengelola setiap tetesan akal, pikir dan rasa.