Sebuah catatan yang ditulis pada pukul 4 pagi dalam keadaan mengantuk.
Sekarang pukul 4 pagi. Gua menunggu subuh. Hari ini tidak tidur sama sekali. Waktu dihabiskan dengan ngobrol. Penuh tawa, bercandaan jorok dan kata-kata kotor. Hahaha.
Gua ingin damai. Sebuah keadaan ketika nggak ada yang diburu-buru. Ketika gua nggak perlu mengorbankan hari ini untuk masa depan. Ketika kesadaran itu datang: bahwa semuanya sudah punya tempat dan jalan masing-masing dan karenanya nggak ada yang perlu dipaksakan. Bahwa yang perlu gua lakukan cuma menjalani peran yang diberikan kepada gua dengan sebaik-baiknya.
Lebaran kali ini tidak pulang. Tentu gua kangen dengan Lombok. Setibanya di sana, yang ingin gua lakukan cuma sepedaan sepanjang hari, melintasi jalan-jalan kota yang penuh dengan pohon, menuju pantai. Kemudian, sampai di pantai gua akan bengong. Melihat ombak. Melihat awan. Melihat langit. Membiarkan pikiran-pikiran liar timbul dan hilang.
Akan tetapi, di sisi lain, gua juga tidak ingin terikat dengan Lombok atau tempat apapun atau siapapun. Gua pernah mengalaminya dan tidak suka perasaan macam itu. Gue tidak ingin menggantungkan kebahagiaan dan ketenangan hati pada tempat-tempat tertentu atau orang-orang tertentu. Gua ingin bisa berbahagia, bisa tenang, saat ini juga. Di tempat manapun, dengan siapapun, dalam situasi apapun. Sulit sekali, memang—suatu pekerjaan seumur hidup.
Gua ingin menikmati apa yang ada sekarang. Teman-teman yang baik. Hembusan udara kipas angin. Pikiran yang jernih. Kantuk yang mulai datang. Kenangan lama yang sedikit menusuk. Gua cuma punya saat ini. Yang lain cuma ilusi: masa lalu yang nggak akan pernah kembali dan masa depan yang belum terjadi.
Gua juga punya sisi-sisi gelap, semacam keinginan konyol untuk dirindukan oleh orang lain. Sesuatu yang konyol. Semakin lama gua sadar, kalau kangen itu menyakitkan. Dan seharusnya gua senang kalau orang lain tidak sakit karena gua. Gue cuma berharap dan berusaha agar kehadiran gua bisa memberi manfaat buat orang sekitar. Atau, minimal buat diri gua sendiri aja deh :) Ini saja masih belum becus untuk gua lakukan. Gua seringkali bicara hanya supaya terlihat keren atau (lebih parah lagi) bicara dengan intensi menyakiti. Gua adalah buntalan ego yang ingin selalu dipuaskan. Sesosok makhluk tidak tahu diri.
Gua harap orang-orang lain bisa bahagia. Teman-teman, keluarga, orang-orang sekitar… gua harap di hati mereka hinggap setangkup ketenangan yang terus menerus bisa terakses.
Huft… rasanya waktu bergerak dengan lambat sekali. Mungkin karena kantuk semakin berat menghimpit gua.
Gua tidak ingin apa-apa lagi. Cuma menunggu mati. Perasaan menunggu mati ini makin sering muncul. Sebelum tidur, setelah bekerja, selagi tertawa. Jangan salah: gua punya banyak ambisi. Tapi… sebagian besar dari mereka luluh lantak di hadapan kenyataan hidup yang fana. Yah, soal mati, gua serahkan sama Tuhan saja. Dia tahu lebih banyak, jauh lebih bijak, dari gua. Pokoknya kalau dikasih hidup gua akan hidup. Mengisi hidup dengan hal-hal baik yang bisa diisi. Sudah. Itu saja pokoknya. Sambil menunggu kematian yang entah-kapan-tapi-pasti-akan-datang. Dan kalau memang sudah tidak punya peran apa-apa lagi sehingga mesti mati, maka gua akan menerimanya. Atau… belajar untuk menerimanya—dari sekarang.