Pertanyaan saya tentang sejarah.
Sejarah melompat. Tiba-tiba. Seringkali dalam senyap tanpa diduga-duga. Tak ada garis lurus: mulus, terprediksi, eksak. Pada 1929 depresi ekonomi di Amerika merambat sampai Eropa. Siapa yang bisa prediksi? Lalu Jerman yang luluh lantak tiba-tiba merangkak lantas jadi mesin yang melaju kencang; militerisasi masif. Adolf Hitler jadi chancellor, lalu diktator dalam tempo kurang dari 1 tahun. Respon dari para adidaya: Inggris, Prancis, Amerika? Tidak banyak. Lalu, hanya dalam 5 tahun (5 tahun!!!) meletus Perang Besar. Menelan jutaan nyawa, jiwa, kebahagiaan, kehidupan normal. Menghancurkan dan melukis cerita baru; menelusup sampai ke sudut-sudut antah berantah tempat saya dan leluhur saya berkehidupan. Bayangkan tak ada perang besar yang ujungnya mencegah adanya kekalutan Jepang yang membuatnya pergi dari negeri ini. Mungkin tak akan ada kemerdekaan. Lantas, apa yang bisa terjadi? Apa saja. Apa saja. Apapun.
Bayangkan Hitler dihentikan sejak 33. Atau 36. Bayangkan Churcill yang pegang kendali.
Kini kita punya penjelasan, narasi; baik teoritis maupun non-teoritis. Oposisi domestik di Jerman kelewat pengecut, katanya. Atau suasana Eropa penuh kalut pasca PD-1. Inggris? Tak usah banyak berharap. Prancis? Apalagi. Akan tetapi, narasi yang clear, crisp, sweet cuma ilusi. Ada banyak persimpangan, belasan mungkin puluhan mungkin lebih, disadari atau tidak disadari; sekotak kecil peristiwa yang sedikit perubahan riaknya dapat menjalar jadi gelombang tsunami yang mengubah sejarah jungkir balik atau menghancurkannya sama sekali. Bagaimana kalau Prancis memutuskan menyerang pada 36? Bagaimana kalau Amerika memutuskan intervensi? Bagaimana kalau bom nuklir ada di tangan Nazi?
Memangnya selama 33-38 ada berapa banyak orang yang bisa memprediksi perang besar? Prediksi atau narasi hanya terjadi setelah peristiwa itu terjadi!!! Ketika semuanya terjadi saat itu juga, real time, nyatanya bahaya perang tak terbayangkan jelas, termasuk pada benak para pemimpin negara-negara raksasa. Perang Dunia 1 adalah perang untuk menghentikan segala perang, bukan?
Bentangkan naiknya Hitler dan Perang Dunia 2 pada peristiwa lain: penjajahan Belanda (kebijakan-kebijakan spesifik sepanjang tahunnya), krisis ekonomi 98 yang memicu jatuhnya Orba, penyerangan Ukraina oleh Rusia. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Maka pertanyaan besar yang menggelayut adalah: bagaimana cara melihat sejarah? Atau, versi yang lebih praktis: bagaimana sejarah semestinya dipelajari? Entahlah. Membaca gagasan Nassim Taleb soal fragility/robustness/antifragility dalam sebuah sistem memberi saya insight menarik untuk diselamai. Yang pasti, arus sejarah tidak seharusnya dilihat (hanya) sebagai narasi yang ajeg, linier dan jelas.